Selamat Datang dan Semoga Bermanfaat,SILAHKAN ISI BUKU TAMU DAHULU YA,,, Blog Ini Untuk Menambah Wawasan Bimbingan Dan Konseling Lalu Motivasi Diri, Serta Mohon Komentar Agar Selalu Baik Dalam Menampilkanya. Email jatirinkriatmaja04@gmail.com atau 085220363757

Tuesday, 29 May 2012

Konseling Lintas Budaya

Beneka tuggal Ika itu yang terucap dari seluruh Rakyat Indonesia karena keragaman Sosial, Budaya, Politik, dan kemamapuan Ekonomi adalah suatu realita masarakat dan bagsa indonesia. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan pelayanan konseling.
Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang terjadi dalam hubungan antara konselor dan klien. Dengan tujuan mengatasi masalah klien dengan cara membelajarkan dan memberdayakan klien. Untuk memperoleh pemahaman dan pencapain tujuan dalam konseling, faktor utama yang mempengaruhi yaitu bahasa merupakan alat yang sangat penting. Bila terjadi kesulitan dalam mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan dirasakan oleh klien, dan kesulitan menangkap makna ungkapan pikiran dan perasaan klien oleh konselor, maka akan terjadi hambatan dalam proses konseling.
Proses konseling memperhatikan, menghargai, dan menghormati unsur-unsur kebudayaan tersebut. Pengentasan masalah individu sangat mungkin dikaitkan dengan budaya yang mempengaruhi individu. Pelayanan konseling menyadarkan klien yang terlibat dengan budaya tertentu; menyadarkan bahwa permasalahan yang timbul, dialami bersangkut paut dengan unsur budaya tertentu, dan pada akhirnya pengentasan masalah individu tersebut perlu dikaitkan dengan unsur budaya yang bersangkutan.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai cirri-ciri atahu karakteristik konselor konseling lintas budaya.
Di pandang dari perspektif lintas budaya, situasi konseling adalah sebuah ‘perjumpaan kultural’ (cultural encounter) antara konselor dengan klien atau a cultural solution to personal problem solving. Dalam proses konseling terjadi proses belajar, tranferensi dan kounter-transferensi, dan saling menilai. Pada keduanya, juga terjadi saling menarik inferensi. Dari segi konselor, ketepatan inferensi yang kemudian mendasari tindakannya dalam konseling tergantung pada kemampuan pemahaman secara utuh terhadap klien. Dari segi klien, ketepatan inferensi merujuk pada pola-pola perilaku yang dimiliki sebelumnya. Masalah akan timbul manakala ada inkongruensi antara persepsi dan nilai-nilai yang menjadi referensi kedua belah pihak, dan sumber terjadinya distorsi yang sangat besar adalah ketidakpekaan konselor terhadap latar belakang budaya klien.
Kajian ini akan menjembantani permasalahan tersebut dengan memperhatikan aspek budaya dalam praktik konseling, yang pada gilirannya akan melahirkan teknik-teknik dan pendekatan konseling yang berwawasan lintas budaya (cross cultural counseling).
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:
1. Adanya hubungan,
2. Adanya dua individu atau lebih,
3. Adanya proses,
4. Membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:
1. Merupakan produk budidaya manusia,
2. Menentukan ciri seseorang,
3. Manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Sehingga konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling yang terdiri dari dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai-nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Dari pengertian diatas maka konseling lintas budaya terjadi antara konselor dan klien mempunyai perbedaan dan perbedaan itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan sebagainya. Sehingga dalam konseling lintas budaya ini konselor mesti :
1. Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda
2. Sadar bahwa tidak ada yang netral secara politik dan moral
3. Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup
Berdasarkan pengertian tentang konseling lintas budaya di atas, aspek-aspek yang harus ada dan diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:
1. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor
2. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien
3. Asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama konseling
4. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dalam konseling

Dasar-Dasar Utama Kualitas Pribadi Seorang konselor
1.        Congruence
Konselor harus genuine, integrated, dan whole person dimana ia berusaha menjadi dirinya yang utuh dalam setiap setting sosial artinya pada saat ia menjadi konselor ia akan mampu memanfaatkan bagian dari dirinya yang relevan dengan peranannya sebagai konselor.
2.        Empati
Kemampuan konselor untuk merasakan apa yang klien rasakan bahkan konselor mampu membayangkan seandainya ia yang berada pada posisi klien mengakibatkan terciptanya hubungan sosioemosinal yang dalam dan itu membuat klien dapat bercerita dengan sukarela dan terbuka mengenai dirinya bahkan yang menjadi rahasinya.
3.        Unconditional positive regard
Menerima keadaan klien secara utuh tanpa memberikan penilaian apapun terhadap keberadaan dan prilaku klien. Konselor berusaha berpikir positif memahami dunia klien apa adanya tanpa adanya kritikkan yang akan membuat klien membangun mekanisme pertahanan diri yang kuat, sehingga menciptakan rasa aman yang membuat klien bisa memahami masalahnya secara utuh.
Karakteristik Konselor dalam Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya
Adapun karakteristik konselor dalam tuntutan konseling lintas budaya sebagai berikut :
1.        Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia
Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.
2.        Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum
Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan konseling, sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhdap kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
3.        Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka mempunyai perhatian terhadap lingkungannya
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terelebih apabila konselor melakukan praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis dan 5 agama besar serta penganut aliran kepercayaan.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik, baik agama maupun budayanya. Dengan mengadakan perhatian atau observasi, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya rintangan selama proses konseling.
4.        Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong klien untuk dapat memahami budaya dan nilai-nilai yang dimiliki konselor
Untuk hal ini ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kemauan konselor tidak boleh dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
5.        Konselor lintas agama dan budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekatan ekletik.
Pendekatan ekletik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya dan pandangan hidup. Untuk itu konselor harus memiliki wawasan keilmuan yang luas.
Keterampilan, Sikap dan Persyaratan Konselor Lintas Budaya
1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor
         Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
  • Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
  • Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
  • Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
  • Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
  • Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
  • Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
  • Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.
2. Sikap Konselor
       Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh klien. Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat world view klien. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:
  • Dimensi keyakinan dan sikap
  • Dimensi pengetahuan
  • Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu
          Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.

          Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keyakinan
       Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.
b. Nilai-nilai
           Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya. Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya. Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan tidak mencampurkan nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.
c. Penerimaan
       Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-buat.
d. Pemahaman
     Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan pemahaman, yaitu(1) pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat individu, (2) memahami kemampuan intelektual dan kemampuan verbal individu, (3) pengetahuan mengenai dunia internal individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi keseluruhan tingkatan tersebut.
e. Rapport
       Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.
f. Empaty
       Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.

3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya
     Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:
  • Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
  • Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
  • Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
  • Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
  • Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
  • Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.
DAFTAR PUSTAKA

Boy Soedarmadji, Konseling lintas Budaya, www.boy_soedarmadji.wordPress.com, diakses 12 Februari 2009
Jumarlin. 2002. Dasar – Dasar Konseling Lintas Budaya. Yokyakarta : Pustaka Pelajar
Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor.Jakarta: Depdikbud.
Syamsu Yusuf, 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: Rosdakarya
Singgih Gunarsa, 2007. Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia.
Yusuf, Yusmar. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

No comments:

Post a Comment