Pelaksanaan bimbingan dan konseling kelompok
tentunya memiliki berbagai tahapan yang sistematis. Di dalam literatur
professional terdapat berbagai perdebatan mengenai apa dan kapan kelompok
melewati tahapan. Tahap perkembangan dikenali dalam berbagai jenis kelompok,
yaitu kelompok belajar dan kelompok latihan, bagaimanapun juga banyak terdapat
perdebatan tentang tahapan yang berpusat pada bimbingan dan konseling kelompok
(Gladding, 2012:308). Bimbingan dan konseling kelompok seringkali dipecah
menjadi empat atau lima tahap, namun ada
beberapa model yang hanya memiliki tiga
tahap dan bahkan ada yang sampai enam tahap. Dari
berbagai penjelasan di atas, maka penulis berusaha untuk memaparkan mengenai
tahapan-tahapan dalam bimbingan dan konseling kelompok yang merupakan inti dari
pelaksanaan bimbingan dan konseling kelompok.
A. Tahap Permulaan (Beginning Stage)
Mungin Eddy
Wibowo (2005:86) menjelaskan bahwa pada tahap permulaan konselor perlu
mempersiapkan terbentuknya kelompok. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk
menumbuhkan minat bagi terbentuknya kelompok yang meliputi pemberian penjelasan
tentang adanya layanan konseling kelompok bagi para siswa, penjelasan
pengertian, tujuan dan kegunaan konseling kelompok, ajakan untuk memasuki dan
mengikuti kegiatan, serta kemungkinan adanya kesempatan dan kemudahan bagi
penyelenggaraan konseling kelompok.
Pada pertemuan
awal adalah penting bagi konselor untuk membentuk kelompok dan menjelaskan
tujuan konseling kelompok dengan istilah-istilah yang mudah dipahami oleh siswa
yang ada dalam kelompok (Johnson & Johnson, Siepker & Kandaras, dalam
Mungin Eddy Wibowo, 2005:86). Kegiatan awal ini akan membuahkan suasana yang
memungkinkan siswa untuk memasuki kegiatan kelompok.
Tahap permulaan
ini disebut pula tahap pembentukan (forming)
karena seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam tahap ini dilakukan pembentukan
kelompok. Gladding (2012:308) mengatakan
bahwa pada tahap pembentukan (forming), biasanya diletakkan
pondasi untuk apa yang dilakukan kemudian dan siapa yang dianggap di dalam
atau di luar
dari pertimbangan kelompok. Pada tahap ini
(bayi kelompok), para anggota mengekspresikan kegelisahan dan ketergantungan, serta
membicarakan isu-isu yang tidak menimbulkan masalah. Salah satu cara untuk
mempermudah transisi ke dalam kelompok pada tahap ini adalah menyusunnya
sedemikian rupa, sehingga para anggota merasa rileks dan mengetahui dengan
pasti apa yang diharapkan dari mereka. Contoh, sebelum dilaksanakannya
pertemuan/rapat pertama, para anggota sebaiknya diberitahu bahwa mereka diberi
waktu 3 menit, untuk menceritakan tentang dirinya kepada anggota lainnya.
Pembentukan
kelompok secara konseptual dimulai dari ide konselor dan berakhir setelah
ide-ide baru yang lain diungkapkan, dan selanjutnya para anggota mulai bekerja.
Setelah pembentukan kelompok dilakukan, isu-isu yang lebih produktif dapat
dihadapkan secara individual maupun secara kolektif. Kormanski & Mozenter
dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:86) menyatakan bahwa kelompok dapat berkembang
dari kesadaran, lalu berlanjut pada pertentangan, kerjasama, produktivitas dan
berakhir dengan pemisahan. Dengan memahami tahapan sebuah kelompok, sangat
mungkin bagi konselor untuk mengetahui tujuan dan kemajuan kelompok.
Gladding dalam
Mungin Eddy Wibowo (2005:86) mengemukakan lima langkah dalam pembentukan
kelompok, yaitu: langkah pertama
rasional pengembangan kelompok; langkah
kedua menetapkan teori yang sesuai untuk pengembangan kelompok; langkah ketiga pertimbangan-pertimbangan
praktis dalam kelompok; langkah keempat
mengumumkan kelompok; dan langkah kelima
pelatihan awal dan seleksi anggota dan konselor.
Corey (2012:103) menjelaskan tentang
fungsi anggota dan mungkin masalah yang muncul pada awal pembentukan kelompok.
Sebelum bergabung dengan kelompok, individu harus memiliki pengetahuan yang
diperlukan untuk membuat keputusan mengenai partisipasi mereka. Anggota harus
aktif dalam proses menentukan apakah kelompok tepat untuk mereka. Berikut
adalah beberapa masalah yang berkaitan dengan peran anggota pada tahap ini:
1.
Anggota harus memiliki pengetahuan
yang memadai tentang sifat kelompok dan memahami dampak kelompok jika memiliki
mereka.
2.
Anggota perlu menentukan apakah
kelompok tertentu sesuai untuk mereka saat ini.
3.
Anggota dapat keuntungan melalui
persiapan diri bagi kelompok mendatang dengan berpikir tentang apa yang mereka
inginkan dari pengalaman dan mengidentifikasi tema pribadi yang akan memandu
pekerjaan mereka dalam kelompok.
Masalah dapat timbul jika anggota dipaksa ke dalam kelompok, tidak memiliki
informasi yang memadai tentang sifat kelompok, atau pasif dan tidak memikirkan
apa yang mereka inginkan atau mengharapkan dari kelompok.
Sedangkan di bawah ini adalah tugas utama dari para pemimpin kelompok
selama pembentukan kelompok:
1.
Mengidentifikasi tujuan umum dan
tujuan spesifik dari kelompok.
2.
Mengembangkan proposal tertulis
jelas untuk pembentukan grup.
3.
Mengumumkan kelompok dengan cara
menyediakan informasi yang memadai kepada calon peserta.
4.
Melakukan wawancara awal kelompok
untuk tujuan mengetahui latar belakang dan orientasi peserta.
5.
Membuat keputusan mengenai pemilihan
anggota.
6.
Mengatur rincian praktis yang
diperlukan untuk memulai sebuah kelompok yang sukses.
7.
Mendapatkan izin orangtua (jika
berlaku).
8.
Mempersiapkan tugas kepemimpinan
psikologis dan bertemu dengan coleader (asisten
pemimpin) (jika berlaku).
9.
Mengatur sebuah sesi kelompok awal
untuk membiasakan diri, menghadirkan aturan-aturan dasar, dan menyiapkan
anggota untuk pengalaman yang sukses.
10.
Membuat
ketentuan untuk persetujuan dan menjelajahi dengan peserta potensi risiko yang
terlibat dalam pengalaman kelompok.
Dalam rangka mempersiapkan anggota untuk memasuki
kelompok, Corey dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:86-87) mengemukakan hal-hal yang
penting dibahas konselor bersama calon anggota kelompok, yaitu: (1) pernyataan
yang jelas tentang tujuan kelompok, (2) deskripsi tentang bentuk kelompok,
prosedur dan peraturan-peraturan mainnya, (3) kecocokan proses kelompok dengan
kebutuhan peserta, (4) kesempatan mencari informasi tentang kelompok yang akan
dimasukinya, mengajukan pertanyaan dan menjajagi hal-hal yang menarik dalam
kegiatan kelompok itu, (5) pernyataan yang menjelaskan pendidikan, latihan dan
kualifikasi pemimpin kelompok, (6) informasi biaya yang harus ditanggung
peserta dan apakah biaya itu mencakup kegiatan lanjut, di samping juga
informasi tentang besarnya kelompok, banyaknya pertemuan, lama pertemuan, arah
pertemuan, serta teknik-teknik yang digunakan, (7) informasi tentang resiko
psikologis dalam kegiatan kelompok itu, (8) pengetahuan tentang keterbatasan
kerahasiaan dalam kelompok, yaitu pengetahuan tentang keadaan di mana
kerahasiaan itu harus dilanggar karena kepentingan bersama dan karena alasan
hukum, etis, dan profesional, (9) penjelasan tentang layanan yang dapat
diberikan dalam kegiatan kelompok itu, (10) bantuan dari pimpinan kelompok
dalam mengembangkan tujuan-tujuan pribadi peserta, (11) pemahaman yang jelas
mengenai pembagian tanggung jawab antara pimpinan kelompok dan peserta, dan
(12) diskusi mengenai hak dan kewajiban anggota kelompok.
Mungin Eddy Wibowo (2005:87) menjelaskan bahwa tahap permulaan
ini juga merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri atau tahap memasukkan
diri ke dalam kehidupan suatu kelompok, tahap menentukan agenda, tahap
menentukan norma kelompok dan tahap penggalian ide dan perasaan. Pada tahap ini umumnya para anggota
saling memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan tujuan atau harapan-harapan
yang ingin dicapai baik oleh masing-masing, sebagian, maupun seluruh anggota. Konselor menjelaskan tanggung
jawab pemimpin dan anggota di dalam
kelompok, proses kelompok, keuntungan yang akan diperoleh anggota bila berada
dalam kelompok, mendorong calon anggota untuk menerima tanggung jawab bagi
partisipasi dan keterlibatan di dalam kelompok serta meningkatkan harapan bahwa
kelompok dapat membantu anggota kelompok. Konselor juga mengemukakan jumlah
anggota yang tergabung dalam kelompok, waktu pertemuan, lama pertemuan, bentuk
kelompok tertutup dan bentuk kelompok terbuka. Apabila masing-masing anggota
kelompok telah mempunyai agenda, pemimpin kelompok perlu menjelaskan norma
kelompok, yaitu asas kerahasiaan, kesukarelaan, kegiatan, keterbukaan, dan
kenormatifan dalam konseling kelompok yang akan membantu masing-masing anggota
untuk mengarahkan peranan diri
sendiri
terhadap anggota
lainnya dan pencapaian
tujuan bersama.
Penjelasan di atas sejalan dengan Gibson & Mitchell
(2011:293) yang menjelaskan bahwa waktu awal pembentukan kelompok biasanya digunakan untuk
memperkenalkan kepada anggota sejumlah format dan proses kelompok,
mengorientasikan mereka pada pertimbangan praktis seperti frekuensi pertemuan,
durasi kelompok dan panjangnya waktu pertemuan kelompok. Selain itu, sesi
pertama bisa digunakan untuk mengawali hubungan dan membuka komunikasi diantara
partisipan. Konselor juga bisa menggunakan sesi awal untuk menjawab pertanyaan
yang mengklarifikasi tujuan dan proses kelompok. Pembentukan kelompok adalah
waktu untuk mempersiapkan lebih jauh anggota bagi partisipasi aktif dan
membentuk iklim positif dan memberi harapan bagi mereka.
Konselor kelompok harus ingat
kalau di sesi-sesi awal pertemuan,
iklim kelompok masih bercampur aduk antara ketidakpastian, kecemasan dan
kecanggungan. Bukan hal yang aneh jika para anggota kelompok tidak bisa
langsung akrab satu sama lain, merasa
sangsi
terhadap proses yang akan dijalani, dan naik turunnya harapan akan keberhasilan
konseling kecuali hanya berpegang kuat-kuat kepada penjelasan awal
aturan-aturan dasarnya. Sangat penting di tahap awal pembentukan kelompok agar
pemimpin menggunakan waktu subyektif mungkin untuk memastikan kalau semua
anggota kelompok sudah mengemukakan segala sesuatu yang terkait dengan problem
mereka, bahwa mereka memahami betul prosesnya dan mulai merasa nyaman di dalam
kelompok. Tentunya, kesan bahwa
konselor kelompok yakin akan keberhasilan prosesnya turut melancarkan dan
menguatkan para anggotanya melangkah pasti.
Setelah
pembentukan kelompok kemudian dimulai dengan pertemuan pertama yang disebut peran
serta. Di sini konselor kelompok perlu melakukan langkah-langkah sebagai
berikut
(Mungin Eddy Wibowo, 2005:88-90).
1. Perkenalan
Pertama
kali yang dilakukan konselor kelompok adalah memperkenalkan dirinya dan
memperkenalkan tiap anggota kelompok (ini dilakukan jika anggota kelompok belum
saling mengenal). Caranya konselor terlebih dahulu memperkenalkan kepada
anggota, kemudian konselor meminta masing-masing anggota memperkenalkan diri
atau konselor memperkenalkan masing-masing anggota. Jika masing-masing anggota
sudah saling mengenal, maka yang dilakukan oleh konselor adalah meningkatkan
kualitas hubungan antar anggota kelompok, sehingga akan terjadi adanya sikap
saling percaya, saling menghargai, saling menghormati, saling mengerti, dan
adanya kebersamaan di dalam kelompok.
1. Pelibatan Diri
Konselor
menjelaskan pengertian dan tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan kelompok
dan menjelaskan cara-cara yang akan dilalui dalam mencapai tujuan itu. Konselor
memunculkan dirinya sehingga tertangkap oleh para anggota sebagai orang yang
benar-benar bisa dan bersedia membantu para anggota kelompok mencapai tujuan
mereka. Konselor menampilkan tingkah laku dan komunikasi yang mengandung
unsur-unsur penghormatan kepada orang lain (dalam hal ini anggota kelompok), ketulusan
hati, kehangatan, dan empati.
Konselor
merangsang dan memantapkan keterlibatan anggota kelompok dalam suasana kelompok
yang diinginkan, dan juga membangkitkan minat-minat dan kebutuhan serta rasa
berkepentingan para anggota mengikuti kegiatan kelompok yang sedang mulai
digerakkan. Konselor harus mampu menumbuhkan sikap kebersamaan, perasaan
sekelompok, suasana bebas, terbuka, saling percaya, saling menerima, saling
membantu di antara para anggota. Jika pada awal sebagian besar anggota kelompok
tidak berkehendak untuk mengambil peranan dan tanggung jawab dalam keterlibatan
kelompok, maka tugas konselor ialah membalikkan keadaan itu, yaitu merangsang
dan menggairahkan seluruh anggota kelompok untuk mampu ikut serta secara
bertanggung jawab dalam kegiatan kelompok.
2. Agenda
Setelah
anggota saling mengenal dan telah melibatkan diri atau memasukan diri ke dalam
kehidupan kelompok, konselor membuka kesempatan bagi mereka untuk menentukan
agenda. Agenda adalah tujuan yang akan dicapai di dalam kelompok. Tentu saja
agenda ini sesuai dengan ketidakpuasan atau masalah yang selama ini dialami
oleh masing-masing anggota kelompok. Yang paling efektif adalah mengemukakan
ketidakpuasan atau masalah dalam perilaku nyata dan perubahan nyata yang ingin
dicapai setelah kelompok berakhir. Agenda dapat dibagi menjadi agenda jangka
panjang dan jangka pendek. Agenda jangka panjang yaitu tujuan yang ingin
dicapai oleh anggota kelompok setelah kelompok selesai. Agenda jangka pendek
yaitu agenda untuk hari itu atau pertemuan itu. Biasanya agenda pertemuan itu
untuk latihan yang akan mendukung tujuan akhir anggota.
3.
Norma Kelompok
Apabila
masing-masing anggota telah mempunyai agenda, perlu dikemukakan tentang norma
kelompok. Pertama kali yang sangat penting untuk dikemukakan adalah kerahasiaan.
Rochman Natawidjaya dalam Mungin Eddy (2005:89) menyatakan bahwa kerahasiaan merupakan
persoalan pokok yang paling penting dalam konseling kelompok. Ini bukan hanya
berarti bahwa konselor harus memelihara kerahasiaan tentang apa yang terjadi dalam
konseling kelompok itu, melainkan juga konselor, sebagai pemimpin harus
menekankan kepada semua peserta pentingnya pemeliharaan kerahasiaan itu. Mereka
harus diingatkan bahwa segala sesuatu yang terjadi selama konseling kelompok
berlangsung itu merupakan rahasia mereka bersama sebagai kelompok. Apa yang
terjadi di dalam kelompok dilarang dibicarakan di luar kelompok dengan orang
lain. Selain itu perlu pula diingatkan tentang kehadiran dan absensi.
Diharapkan bahwa semua anggota akan hadir setiap pertemuan dan jika tidak dapat
hadir harus memberi tahu. Ini sangat penting, sebab ketidak hadiran salah satu
anggota akan menimbulkan pertanyaan bagi konselor maupun anggota lain.
Lebih-lebih apabila sebelumnya terjadi konflik antara anggota. Hal lain yang
perlu dibina adalah suasana positif dalam
kelompok, dan perlu dikemukakan aturan main dalam memberikan umpan balik. Konselor perlu menjelaskan
bahwa umpan balik adalah untuk kepentingan anggota lain, bukan untuk kepuasan
diri sendiri. Umpan balik dalam bentuk kritik yang diberikan kepada anggota
lain bukan untuk memenuhi dorongan agresivitas, tapi yang lebih penting adalah
pemberian penghargaan pada apa yang telah dilakukan anggota lain.
4. Penggalian Ide dan
Perasaan
Sebelum
pertemuan pertama berakhir perlu digali ide-ide maupun perasaan-perasaan yang
muncul. Usul-usul perlu ditampung, demikian pula perasaan yang masih mengganjal
perlu diungkapkan sebelum dilanjutkan pada langkah berikutnya. Hal ini penting
untuk menjaga rasa positif anggota terhadap kelompok. Pertemuan awal ini dapat
dipakai sebagai prediksi tentang komitmen anggota terhadap kelompok. Anggota
kelompok yang merasa tidak memperoleh apa-apa dalam pertemuan ini cenderung
tidak akan mau melanjutkan pada tahap berikutnya.
B.
Tahap Transisi (Transition
Stage)
Tahap
transisi merupakan masa setelah proses pembentukan dan sebelum masa bekerja
(kegiatan). Dalam suatu kelompok, tahap transisi membutuhkan 5% sampai 20% dari
keseluruhan waktu kelompok (Gladding, dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:89). Tahap ini yang merupakan proses dua
bagian, yang ditandai dengan ekspresi sejumlah emosi dan interaksi anggota.
Transisi
mulai dengan masa badai, yang mana anggota mulai bersaing dengan yang lain
dalam kelompok untuk mendapatkan tempat, kekuasaan dalam kelompok. Aspek yang
bersifat tidak tentu dari kelompok tersebut meliputi perjuangan untuk
mendapatkan kekuasaan dan kontrol baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat
(Carroll dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:89). Masa badai adalah masa munculnya
perasaan-perasaan kecemasan, pertentangan, pertahanan, ketegangan, konflik,
konfrontasi, transferensi. Selama masa ini, kelompok berada diambang ketegangan
dan mencapai keseimbangan antara terlalu banyak dan terlalu sedikitnya
ketegangan. Dalam keadaan seperti itu banyak anggota yang merasa tertekan
ataupun resah yang menyebabkan tingkah laku mereka menjadi tidak sebagaimana
biasanya. Keengganan atau penolakan (resistensi)
yang muncul dalam
suasana seperti itu dapat berkembang menjadi bentuk-bentuk penyerangan (dengan
kata-kata) terhadap anggota lain, atau kelompok secara keseluruhan atau bahkan
terhadap konselor. Bentuk-bentuk lain dari keengganan itu dapat berupa salah paham terhadap tujuan dan
cara-cara kerja yang di kehendaki, menolak untuk melakukan sesuatu, dan
menginginkan pengarahan yang lebih banyak dari pemimpin. Begitu diketahui
dengan jelas apa yang diharapkan oleh konselor maupun anggota lain, seseorang
menjadi ambivalen tentang keanggotaannya dalam kelompok, dan merasa enggan bila
harus membuka diri.
Masa
badai adalah masa munculnya konflik atau kegelisahan saat kelompok beralih dari
ketegangan primer (kejanggalan dalam situasi yang aneh) ke ketegangan sekunder
(konflik antar kelompok). Selama masa ini, kelompok berada diambang ketegangan
dan mencapai keseimbangan antara terlalu banyak dan terlalu sedikitnya
ketegangan. Anggota kelompok dan pemimpin kelompok mengupayakan penyelesaian
masalah yang berkaitan dengan struktur, arah, kontrol, dan hubungan antar pribadi
(Hershenson & Power; Maples dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:90). Meskipun frustrasi dan kegaduhan
meningkat selama sub-tahap ini, saat ini merupakan saat yang produktif bagi
anggota kelompok untuk memperbaiki sosialisasinya di masa lalu yang tidak produktif,
membuat pengalaman-pengalaman baru dan menetapkan tempatnya dalam kelompok
tersebut.
Setiap
kelompok mengalami proses pertentangan/ badai
secara berbeda. Beberapa orang mungkin menemukan semua masalah yang
diasosiasikan dengan masa ini, sementara yang lainnya mungkin hanya mendapati
sedikit kesulitan. Kelompok mungkin terjebak dalam tahap ini atau mungkin tidak
merighiraukannya dan tidak pernah bergerak ke tahap perkembangan. Pemimpin
kelompok harus membantu anggotanya mengenali dan mengatasi kegelisahan serta
keengganannya pada saat ini.
Selama
masa badai, anggota kelompok lebih terlihat gelisah dalam interaksinya dengan
sesama anggota. Kegelisahannya berkaitan dengan ketakutan untuk lepas kontrol,
salah persepsi, terlihat bodoh atau ditolak (Corey & Corey, dalam Mungin Eddy Wibowo,
2005:91). Beberapa
anggota menghindari mengambil resiko dengan tetap diam. Sebaliknya, anggota
yang lain mencari tempat di kelompok tersebut untuk mengatasi kegelisahannya
dengan lebih terbuka. Sebagai contoh, Bambang mungkin tetap diam selama masa
tersebut dan hanya mengamati interaksi anggota kelompok. Sedangkan Joko mungkin
secara verbal bersifat agresif dan menunjukkan pendapatnya di setiap peristiwa
yang terjadi dalam kelompok tersebut.
Masa
transisi dari masa dari tahap permulaan ke tahap berikutnya menurut Yalom dalam Mungin Eddy Wibowo
(2005:92)
merupakan saat "perebutan kekuatan" diantara anggota kelompok dengan pemimpin
kelompok. Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan/kekuatan
terjadi setelah anggota kelompok mengorientasikan dirinya ke dalam formasi
kelompok.
Ada
beberapa bentuk kekuasaan dan kekuatan dalam suatu kelompok, sebagai contoh,
kekuasaan dan kekuatan yang bersifat memberi informasi, mempengaruhi dan
mengatur. Kekuasaan dan kekuatan yang bersifat memberi informasi muncul atas
dasar bahwa mereka yang tahu banyak, bisa mengontrol situasi, termasuk
orang-orang yang berpengaruh. Kekuasaan dan kekuatan yang bersifat mempengaruhi
didasarkan atas persuasi dan manipulasi melalui pernyataan bahwa suatu tindakan
tertentu adalah benar. Kekuasaan dan kekuatan yang bersifat mengatur dikaitkan
dengan posisi sosial atau tanggung jawab dalam suatu organisasi.
Prinsip-prinsip
yang berlaku berkenaan dengan kekuasaan dan kekuatan hampir sama tanpa
memperhatikan tipe kekuasaan dan kekuatan yang sedang ditunjukkan. Pada
awalnya, anggota akan berusaha mengatasi masalah kekuasaan dan kekuatan, dengan
cara yang mirip dengan yang digunakan di luar kelompok, sebagai contoh dengan
berkelahi. Jika strategi-strategi ini dianggap baik dan efektif, strategi
tersebut akan terus dipakai, tetapi apabila tidak, cara-cara baru akan
dirumuskan. Sebagai contoh, jika Hasan mengetahui bahwa berteriak kepada
anggota kelompok tidak mempengaruhi mereka untuk menghormatinya. la mungkin
akan mencoba bercakap-cakap secara langsung atau mungkin mencoba membujuk
kelompok bahwa ia seharusnya dihargai dengan bercerita pada anggota-anggota
tersebut tentang apa yang telah ia lakukan di masa lalu.
Yang
berkaitan dengan masalah kegelisahan, kekuasaan dan kekuatan, dan kepercayaan
antara anggota kelompok merupakan masalah yang berkaitan dengan interaksi
verbal. Komentar-komentar negatif, penilaian dan kritik, sering muncul pada
tahap ini, saat anggota kelompok menghadapi masalah kontrol dan sejenisnya.
Selama masa ini anggota berfokus pada masalah isi pesan. Jika semua berjalan
dengan baik pada tahap ini,anggota kelompok bisa memahami diri dan bisa
memahami satu sama lain dengan lebih baik. Mereka mulai mengembangkan perasaan
empati satu sama lain. Bagaimanapun juga, untuk mendapatkan kemajuan, kelompok
harus bekerja secara kolektif untuk membuat suatu perubahan yang baik dan
berarti.
Pada masa ini sebenarnya terjadi awal pembentukan suatu hubungan sosial
yang dicirikan dengan adanya tanggapan yang negatif dan kritik dari anggota
baik terhadap sesama anggota maupun terhadap konselor. Ini terjadi karena untuk pertama kali
seseorang bisa berprasangka buruk-kepada orang lain dan enggan untuk terbuka.
Hal ini diperkuat oleh Corey dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:89) bahwa
masa peralihan ini secara umum ditandai dengan meningkatnya rasa kecemasan dan
defensif. Perasaan-perasaan ini dianggap normal dan akan membuka jalan ke arah
keterbukaan yang sesungguhnya dan kepercayaan terhadap anggota kelompok pada
tahapan selanjutnya. Pada tahap ini dimungkinkan anggota kelompok akan menolak
untuk mengekspresikan perasaan negatifnya karena belum terjadi saling hubungan
satu sama lain, dan mungkin juga akan membentuk suatu kelompok lain yang
disebut sub-kelompok. Gejala perilaku tersebut muncul sebagai reaksi negatif
sehingga para anggota membuat klik di luar kelompok dan mereka akan pasif dalam
pertemuan kelompok yang sedang dibangun oleh konselor.
Rochman Natawidjaya dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:93) menyatakan bahwa
hal-hal yang muncul tidak diinginkan merupakan resiko psikologis dari kegiatan
kelompok, dan hal itu merupakan hal yang wajar, mengingat bahwa dalam konseling
kelompok itu secara sengaja dipancing munculnya emosi-emosi yang terpendam pada
diri setiap peserta. Resiko psikologis itu dalam kelompok tidak mungkin
dihindari sepenuhnya, tetapi pimpinan kelompok perlu berusaha untuk mengurangi
sampai batas yang paling kecil. Lebih
lanjut Rochman Natawidjaya menyatakan bahwa untuk mencapai maksud tersebut,
maka salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu membuat semacam kontrak antara
konselor dengan anggota kelompok. Kontrak itu menyangkut batas tanggung jawab
konselor dalam kegiatan kelompok itu dan komitmen peserta terhadap kelompoknya mengenai
apa yang ingin dijajahinya
dalam kegiatan kelompok. Tugas konselor adalah membantu para anggota untuk
mengenali dan mengatasi halangan, kegelisahan, keengganan, sikap mempertahankan
diri, dan ketidaksabaran yang timbul pada saat ini (Gladding dalam Mungin Eddy
Wibowo, 2005:94). Apabila memang terjadi, unsur-unsur ketidaksabaran itu
dikaji, dikenali, dan dihadapi oleh seluruh anggota kelompok, konselor membantu
usaha tersebut sehingga diperoleh suasana kebersamaan dan semangat bagi
dicapainya tujuan kelompok.
Masa ini merupakan masa yang produktif bagi anggota untuk memperbaiki
sosialisasinya di masa lalu yang tidak produktif, membuat pengalaman-pengalaman
baru dan menetapkan tempatnya dalam kelompok tersebut. Untuk itu, dibutuhkan
kemampuan dan keterampilan konselor dalam beberapa hal, yaitu kepekaan waktu,
kemampuan melihat perilaku anggota, dan mengenal suasana emosi di dalam
kelompok. Konselor
harus peka kapan harus melakukan konfrontasi terhadap anggota, dan kapan harus
memberikan dukungan, oleh karena itu konselor perlu memperhatikan pola perilaku
anggota dalam kelompok Untuk melakukan intervensi selain ketepatan waktu
disertai pengamatan yang akurat, konselor perlu mengenal suasana emosi di dalam
kelompok.
Beberapa
cara umum untuk mengatasi bentuk-bentuk masalah intrapersonal dan interpersonal
selama masa ini adalah:
(1) menggunakan proses peningkatan dimana anggota diminta berinteraksi secara
bebas dan mantap, (2) meminta anggota mengetahui apa yang sedang terjadi, (3)
mendapatkan umpan balik dari anggota tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu dan apa yang menurut mereka perlu.
Berikut
adalah beberapa tugas utama pemimpin kelompok (konselor) yang perlu dilakukan
selama periode transisi yang penting dalam pengembangan sebuah kelompok (Corey, 2012:118):
1.
Mengajarkan anggota kelompok
pentingnya mengenali dan mengekspresikan kekhawatiran mereka, penolakan/
keengganan, dan reaksi terhadap apa yang terjadi dalam sesi tersebut.
2.
Membantu peserta mengenali cara di
mana mereka bereaksi membela diri dan menciptakan iklim di mana mereka dapat
menangani dengan resistansi mereka secara terbuka.
3.
Mengajar para anggota nilai
mengenali dan menangani konflik yang terjadi dalam kelompok secara terbuka.
4.
Menunjukkan perilaku yang merupakan
manifestasi dari perjuangan untuk kontrol, dan mengajar anggota bagaimana mereka
menerima berbagi tanggung jawab untuk arah kelompok.
5.
Membantu anggota kelompok dalam
berurusan dengan hal-hal yang akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjadi
mandiri dan saling bergantung.
6.
Mendorong anggota untuk menjaga
dalam pikiran apa yang mereka inginkan dari kelompok dan meminta untuk itu.
7.
Menyediakan model untuk para anggota
dengan berurusan langsung dan jujur dengan tantangan apapun kepada pemimpin
kelompok (konselor) sebagai orang atau sebagai seorang profesional.
8. Terus
memantau reaksi-reaksi pemimpin kelompok (konselor) sendiri untuk anggota yang
menampilkan perilaku bermasalah. Eksplorasi potensi pemimpin kelompok
(konselor) melalui pengawasan atau terapi pribadi.
C.
Tahap Kegiatan (Working
Stage)
Tahap kegiatan sering disebut juga sebagai tahap
bekerja (Gladding,1995), tahap penampilan (Tuckman & Jensen,1977), tahap
tindakan (George & Dustin,1988), dan tahap pertengahan yang merupakan inti
kegiatan konseling kelompok, sehingga memerlukan alokasi waktu yang terbesar
dalam keseluruhan kegiatan konseling kelompok. (Mungin Eddy Wibowo, 2005:94). Disebut
pula tahap pelaksanaan (Gladding, 2012:309), dan tahap realisasi (Gibson &
Mitchell, 2011:297). Dalam kelompok dari semua tipe, antara 40% hingga 60%
waktu total waktu kelompok akan digunakan dalam tahap bekerja. Tahap ini
merupakan tahap kehidupan yang sebenarnya dari konseling kelompok, yaitu para
anggota memusatkan perhatian terhadap tujuan yang akan dicapai, mempelajari
materi-materi baru, mendiskusikan berbagai topik, menyelesaikan tugas, dan
mempraktekkan perilaku-perilaku baru. Tahap ini seringkali dianggap sebagai
tahap yang paling produktif dalam perkembangan kelompok dan ditandai dengan konstruktif dan pencapaian hasil.
Para anggota kelompok memperoleh
keuntungan atau pengaruh-pengaruh positif dari kelompok, dan merupakan saatnya
anggota kelompok memutuskan seberapa besar mereka mau terlibat dalam kegiatan
kelompok.
Gladding (2012:309) menyatakan
bahwa pada tahap pelaksanaan, anggota kelompok saling
terlibat satu dengan yang lain dan dengan tujuan individu maupun kolektif.
Selama dalam tahap kegiatan, konselor dan anggota
kelompok merasa lebih bebas dan nyaman dalam mencoba tingkah laku baru dan
strategi baru, karena sudah terjadi saling mempercayai satu sama lain. Pada
tahap ini dalam perkembangan kelompok, "dukungan terapi" seperti
keterbukaan diri sendiri pada orang lain dan ide-ide baru dikembangkan dengan
baik. Kelompok menunjukkan keintiman, keterbukaan, umpan balik, kerjasama,
konfrontasi, dan humor secara sehat. Tingkah laku positif ini diperlihatkan
dalam hubungan interpersonal antar anggota, yaitu dalam hubungan teman.
Penekanan utama pada tahap ini adalah produktivitas, baik hasilnya dapat
dilihat langsung atau tidak. Anggota kelompok menfokuskan pada meningkatkan
diri mereka sendiri dan/atau dalam mencapai tujuan individu atau kelompok yang
spesifik.
Kelangsungan kegiatan konseling kelompok pada tahap
ini amat tergantung pada hasil dari dua tahap sebelumnya. Jika tahap-tahap
sebelumnya berhasil dengan baik, maka tahap kegiatan ini akan berlangsung
dengan lancar, dan konselor mungkin sudah bisa lebih santai dan membiarkan para
anggota kelompok sendiri melakukan kegiatan tanpa banyak campurtangan dari
konselor. Di sini prinsip tut
wuri handayani dapat
diterapkan, sehingga akan dapat menumbuhkan saling hubungan antar anggota
kelompok dengan baik, saling tanggap dan tukar pendapat berjalan lancar, saling
tukar pengalaman yang berkaitan dengan perasaan berlangsung dengan bebas,
bersikap saling membantu, saling menerima, saling kuat-mengkuatkan, dan saling
berusaha untuk memperkuat rasa kebersamaan.
Pada tahap ini, hubungan antar anggota sudah mulai
ada kemajuan. Sudah terjalin rasa saling percaya antara sesama anggota
kelompok, rasa empati, saling mengikat dan berkembang lebih dekat secara
emosional, dan kelompok tersebut akan menjadi kompak (kohesif). Kedekatan
emosional akan terjadi jika anggota kelompok dapat mengenali satu sama lain dan
telah berhasil dalam pekerjaannya melalui perjuangan mereka bersama-sama.
Kelompok yang kohesif menunjukkan adanya penerimaan yang mendalam, keakraban,
pengertian, disamping itu juga mungkin berkembang eksperesi bermusuhan dan
konflik. Pada kelompok kohesif yang paling penting adalah adanya saling
ketergantungan dari setiap terhadap kelompok akan meningkat sehingga sering
terjadi katarsis yang memudahkan konselor untuk memahami anggota kelompok.
Penekanan utama pada tahap ini adalah produktivitas,
baik hasilnya dapat dilihat langsung maupun tidak langsung. Anggota kelompok
menfokuskan pada meningkatkan diri mereka sendiri dan/atau dalam mencapai
tujuan individu atau kelompok yang spesifik. Anggota kelompok harus lebih
produktif dalam menyelesaikan tugas pribadi atau masalah dengan melakukan
kerjasama yang dinamis dan kondusif. Melalui kerjasama, anggota kelompok akan
dapat juga menyadari nilai-nilai dari kelompok dalam kehidupan mereka dan
mengingat saat-saat penting dalam kelompok berkaitan dengan apa yang dikatakan
atau dilakukan mereka dan anggota kelompok, serta akan menghasilkan
pengalaman-pengalaman, keterampilan, sikap, dan pembentukan kepribadian sesuai
dengan apa yang diharapkan atau yang menjadi tujuan masing-masing anggota
kelompok.
Meskipun demikian pada tahap ini dimungkinkan
terjadi "transference atau countertranference"sebagai proses fundamental menurut perspektif
psikoanalisa. Meskipun bisa menguntungkan, tranference ini
dapat pula merupakan tantangan sulit yang harus dihadapi konselor. Transference merupakan
proyeksi perasaan anggota kelompok terhadap seseorang yang berarti dalam
kehidupannya.
Pada tahap ini, para anggota belajar hal-hal baru,
melakukan diskusi tentang berbagai topik, atau melakukan saling berbagi rasa
dan pengalaman. Para anggota sudah komit terhadap kelompok, siap untuk lebih
mengungkap tentang diri mereka dan masalah hidup mereka. Ini merupakan periode
klarifikasi dan eksplorasi masalah yang biasanya diikuti dengan pengujian
solusi-solusi yang mungkin. Masing-masing anggota mengeksplorasi dan berupaya
mencari pemahaman sendiri tentang diri, situasi, dan masalah-masalahnya
sendiri, mengembangkan rencananya sendiri dengan mengintegrasikan pemahaman
tersebut.
Kegiatan kelompok yang sesungguhnya ini ditandai
oleh tingkatan moral yang tinggi dan rasa memiliki kelompok yang tinggi pula.
Anggota mulai memenuhi agenda yang dikemukakannya. Mereka mulai mengubah
perilaku yang kurang memuaskannya atau tidak dikehendakinya. Kemudian mereka
mulai berlatih dengan perilakunya yang baru. Interaksi antara anggota-konselor
mulai menurun dan interaksi antara anggota-anggota menaik. Pada saat ini
konselor lebih berperan sebagai pengamat dan fasilitator. Bagi konseling kelompok untuk orang normal, kerja
kelompok dapat terlaksana dengan lebih cepat, akan tetapi bagi anggota kelompok
yang mempunyai gangguan emosi berat, proses kelompok akan sangat lamban
kemajuannya, sehingga untuk sampai pada kerja kelompok sesungguhnya diperlukan
waktu cukup lama. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan yang banyak tentang
psikodinamika masing-masing anggota berikut pola perilaku yang selama ini
diperlihatkannya. Dibutuhkan kesabaran yang tinggi dari konselor bila akan
memimpin kelompok yang bermasalah emosi berat.
Pada tahap kegiatan ini, kelompok benar-benar sedang
mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Kelompok berusaha menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi para anggota kelompok. Konselor tetap tut wuri handayani,
terus menerus memperhatikan dan mendengarkan secara aktif, khususnya
memperhatikan hal-hal atau masalah khusus yang mungkin timbul dan kalau
dibiarkan akan merusak suasana kelompok yang baik. Konselor harus dapat melihat
dengan baik dan dapat menentukan dengan tepat arah yang dituju dari setiap
pembicaraan. Konselor harus dapat melihat siapa-siapa di antara anggota
kelompok yang kira-kira telah mampu mengambil keputusan dan mengambil langkah
lebih lanjut.
Penjelasan diatas sejalan dengan pernyataan Gibson
& Mitchell (2011:297) bahwa ketika
anggota kelompok mengenali ketidaktepatan perilaku masa lalu dan mulai
mengupayakan solusi-solusi yang mereka pilih, atau perilaku-perilaku baru untuk
mengimplementasikan keputusan menjadi praktik, mereka sedang membuat gerak maju
menuju pengakuan tujuan-tujuan pribadi. Di titik-titik ini anggota telah
mengambil tanggung jawab pribadi untuk bertindak berdasarkan keputusannya
sendiri. Konselor bisa menguatkan dengan berbagi pengalaman pribadi dan
pencapaian tujuan ini entah di dalam atau di luar kelompok. Meskipun kesuksesan
umum perilaku baru bisa menyediakan penguatan yang cukup untuk dilanjutkan
banyak anggota, beberapa ahli menganggap basis dukungan individu signifikan di
luar kelompok misalnya dikembangkan juga untuk membantu mereka mempertahankan
perubahan setelah kelompok konseling berakhir nantinya. Di lingkup sekolah
contohnya, para konselor dapat
berkonsultasi dengan orang tua dan guru dalam mengimplementasikan
strategi ini.
Tahap ini disimpulkan berhasil bila semua solusi
yang mungkin telah dipertimbangkan dan diuji menurut konsekuensinya dapat
diwujudkan. Solusi-solusi tersebut harus praktis, dapat direalisasikan, dan
pilihan akhir harus dibuat setelah melalui pertimbangan dan diskusi yang tepat.
Namun perlu dicatat, menurut Gibson & Mitchell dalam Mungin Eddy Wibowo,
2005:97), bahwa kemajuan selama tahap ini tidak selalu konstan, kadang-kadang
terjadi kemunduran, stagnasi, atau bahkan kebingungan. Oleh karena itu,
konselor hendaknya sadar dan bersiap diri dengan kemungkinan negatif.
Corey
(2012:133) memaparkan secara rinci fungsi pemimpin kelompok (konselor) sebagai
fungsi sentral kepemimpinan pada tahap ini yaitu:
1.
Menyediakan secara sistematis
penguatan perilaku kelompok yang diinginkan yang mendorong kohesi dan kerja
produktif.
2.
Mencari tema-tema umum di antara kerja
anggota yang menyediakan beberapa universalitas.
3.
meneruskan model penyesuaian
perilaku, terutama peduli konfrontasi, dan mengungkapkan reaksi yang
berkelanjutan dan persepsi.
4.
Menafsirkan makna dari pola-pola
perilaku pada waktu yang tepat sehingga anggota akan dapat mencapai tingkat eksplorasi
diri yang lebih dalam dan mempertimbangkan perilaku alternatif.
5. Menyadari
faktor terapeutik yang beroperasi untuk menghasilkan perubahan dan campur
tangan dalam cara tertentu untuk membantu anggota membuat perubahan yang
diinginkan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan.
D. Tahap Pengakhiran (Termination
Stage)
Kegiatan suatu kelompok tidak mungkin berlangsung
terus menerus tanpa berhenti. Setelah kegiatan kelompok memuncak pada tahap
kegiatan, kegiatan kelompok ini kemudian menurun, dan selanjutnya kelompok akan
mengakhiri kegiatan pada saat yang dianggap tepat. Menurut Corey dalam Mungin
Eddy Wibowo (2005:97), tahap penghentian atau pengakhiran sama pentingnya
seperti tahap permulaan pada sebuah kelompok. Selama pembentukan awal pada
sebuah kelompok, anggota datang untuk saling mengenali satu sama lain dengan baik.
Selama masa penghentian, para anggota kelompok memahami diri mereka sendiri
pada tingkat yang lebih mendalam. Jika dapat dipahami dan diatasi dengan baik,
pengehentian dapat menjadi sebuah dukungan penting dalam menawarkan perubahan
dalam diri individu. Penghentian memberi kesempatan pada anggota kelompok untuk
memperjelas arti dari pengalaman mereka, untuk mengkonsolidasi hasil yang
mereka buat, dan untuk membuat keputusan mengenai tingkah laku mereka yang
ingin dilakukan di luar kelompok dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tahap akhir atau penghentian pertemuan kelompok
yang penting adalah bagaimana keterampilan anggota, termasuk konselor, dalam
mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam kelompok ke dalam kehidupannya
di luar lingkungan kelompok. Anggota kelompok berupaya merealisasikan
rencana-rencana tindakan sampai mencapai perubahan perilaku yang diinginkan.
Tidak semua anggota kelompok dapat dengan mudah meralisasikan rencana-rencana
tindakan atau keputusan-keputusannya. Karena itu konselor bersama anggota
kelompok perlu memberikan penguatan yang cukup bagi kebanyakan individu, bahkan
kadang-kadang diperlukan dukungan dari orang lain di luar kelompok yang berarti
bagi anggota kelompok.
Kegiatan anggota kelompok yang paling penting dalam
tahap penghentian adalah untuk kognitif (Wagenheim & Gemmill dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:98).
Penghentian adalah sebuah kejadian transisi merefleksikan
pengalaman mereka di masa lalu, memproses kenangan, mengevaluasi apa yang telah
mereka pelajari, menyatakan perasaan yang bertentangan, dan membuat keputusan yang
mengakhiri serangkaian kondisi yang orang lain dapat memulai (Cormier &
Hackney dalam Mungin Eddy Wibowo,
2005:98). Hal ini dianggap sebagai tingkat akhir proses kelompok, tapi pada
kenyataannya hal ini menandai awal dari sebuah awal baru. Penghentian memberi
kesempatan pada anggota kelompok untuk memperjelas arti dari pengalaman mereka,
untuk mengkonsolidasi hasil yang mereka buat, dan untuk membuat keputusan
mengenai tingkah tingkah laku mereka yang mereka inginkan untuk dilakukan di
luar kelompok dan dilakukan di kehidupan sehari-hari. Hal ini dipengaruhi oleh
cara positif dan negatif dengan tindakan dan arah dari pemimpin kelompok. Hal
ini dibedakan dari kelompok terbuka dan tertutup karena anggota kelompok
tertutup dipersiapkan untuk dan mengalami penghentian secara bersama-sama,
sedangkan anggota kelompok terbuka dipersiapkan untuk dan mengalami penghentian
secara perorangan
Pada tahap ini, Corey dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:99)
mengemukakan bahwa sesudah berakhirnya pertemuan kelompok, fungsi utama dari
anggota kelompok adalah merencanakan program dari apa yang pernah dia pelajari
yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, melakukan evaluasi kelompok, dan melakukan tindak
lanjut melalui pertemuan yang telah ditetapkan jika diperlukan. Secara umum
dapat dikatakan bahwa pengakhiran kegiatan konseling kelompok tepat dilakukan
pada saat-saat tujuan-tujuan individual anggota kelompok dan tujuan kelompok
telah dicapai dan perilaku baru telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari
di luar kelompok. Namun bisa juga konseling kelompok itu diakhiri dalam kondisi
yang lain.
Menurut Pitrofesa et.al dalam Mungin Eddy Wibowo
(2005:98), selain karena anggota kelompok telah mencapai tujuan mereka secara
berhasil, dapat juga konseling kelompok dihentikan karena mereka telah
merencanakan untuk mengakhiri setelah jangka waktu tertentu atau sejumlah sesi
dan/atau karena mereka tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam konseling
kelompok.
Ketika kelompok memasuki tahap pengakhiran, kegiatan
kelompok hendaknya dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang apakah
para anggota kelompok akan mampu menerapkan hal-hal yang telah mereka pelajari
dalam suasana kelompok, pada kehidupan nyata mereka sehari-hari. Peranan
konselor di sini ialah memberikan penguatan (reinforcement) terhadap
hasil-hasil yang telah dicapai oleh anggota kelompok dan oleh kelompok,
khususnya terhadap keikutsertaan secara aktif para anggota kelompok dan
hasil-hasil yang telah dicapai oleh masing-masing anggota kelompok.
Pengakhiran konseling kelompok hendaknya membuat
kesan yang positif bagi anggota kelompok, jadi jangan sampai anggota kelompok
mempunyai ganjalan-ganjalan. Untuk itu perlu diberikan kesempatan bagi masing-masing
anggota untuk mengemukakan ganjalan-ganjalan yang sesungguhnya mereka rasakan
selama kelompok berlangsung. Dengan demikian para anggota kelompok akan
meninggalkan kelompok dengan perasaan lega dan puas. Dengan kata lain, bahwa
pada akhir kegiatan kelompok hendaknya para anggota merasa telah memetik suatu
hasil yang cukup berharga dari kegiatan kelompok yang diikutinya itu.
Penghentian terjadi pada dua tingkatan dalam
kelompok, yaitu pada akhir masing-masing sesi, dan pada akhir dari keseluruhan
sesi kelompok. Dalam mempertimbangkan penghentian, konselor harus membuat
rencana terlebih dahulu. Proses penghentian meliputi langkah-langkah : (1)
orientasi, ( 2) ringkasan, (3) pembahasan tujuan, dan tindak lanjut (Epstein
& Bishop, dalam Mungin Eddy Wibowo,
2005:100).
Efek penghentian pada individu tergantung pada
banyak faktor. Salah satu yang paling penting termasuk apakah kelompok itu
terbuka atau teretutup, apakah anggotanya pada kenyataannya dipersiapkan untuk
pengakhirannya, dan apakah cepatnya dan intensitas kerja dalam kegiatan pada
tahap yang tepat untuk membiarkan anggota mengidentifikasi dengan benar dan
memecahkan masalah yang ada. Jika ditangani secara tidak tepat, penghentian
mungkin memiliki efek yang tidak bagi bagi individu dan menghambat perkembangan
mereka. Jika diatasi dengan benar, proses penghentian dalam diri mereka sendiri
dapat menjadi peran yang penting dalam membantu individu untuk mengembangkan
tingkah laku baru (Hansen, Warner & Smith dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:100).
Seringkali dari matinya hubungan, baik secara fisik atau psikologis, menghambat
dalam mengembangkan tingkah laku baru.
Cara yang paling baik untuk setiap individu
mengakhiri sebuah kelompok adalah untuk memperlihatkan pada apa yang telah
mereka alami dan membuat jalan untuk awal baru di luar kelompok, tetapi
pencapaian dari keadaan ideal ini tidak selalu memungkinkan. Untuk itu, pemimpin
kelompok mungkin harus memfokuskan perhatian khusus pada masalah perpisahan
dengan beberapa orang lebih daripada yang lainnya (Corey.Corey, Calanan, &
Rusell dalam Mungin Eddy Wibowo,
2005:101). Sebagai contoh, pemimpin kelompok mungkin harus meluangkan lebih
banyak waktu dengan Dewi pada akhir konseling karena latar belakang yang tidak
stabil. Mungkin saja pemimpin kelompok akan menghabiskan sedikit waktu dengan
wati karena emosi masa lalunya yang aman. Untuk Dewi, ketakutan bahwa dia tidak
akan mampu mendapatkan hubungan suportif di latar belakang yang lain dapat
dibuka oleh seorang pemimpin kelompok yang membantunya mengingat resiko yang
diambilnya di kelompok terdahulu dan cara-cara untuk mencapai tujuan dalam
kelompok dengan cara personal dan memuaskan. Pemimpin kelompok membantu Shinta,
yang belum menyelesaikan keadaan yang berkaitan dengan kemarahan dan penyesalan,
bahas bagaimana dia memerangi perasaan negatif ini dalam konseling kelompok dan
langkah-langkah apa yang mungkin harus diambilnya dimasa yang akan datang.
Gibson & Mitchell (2011:298)
menyatakan bahwa momen penutupan adalah waktunya konselor maupun klien
meringkas dan mengkaji seluruh aktivitas konseling kelompok. Ada kelompok yang
mungkin memerlukan sejumlah waktu untuk mengijinkan anggotanya mengolah
perasaan mereka tentang penutupan. Bahkan meskipun ikatan kuat yang berkembang
di sepangjang tekanan kelompok sebelumnya menuntut perpanjangan waktu
penutupan, namun konselor harus menolaknya dan menguatkan kelompok untuk tetap
teguh bergerak menuju tahap penutupan yang memang tidak terelakkan itu.
Berkaitan dengan bagaimana hati-hatinya dan
pengertian seorang Pemimpin kelompok selama tahap penghentian, sejumlah anggota
mungkin membutuhkan lebih banyak bantuan. Bagi orang-orang ini, tiga pilihan
adalah produktif (Gladding dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:101):
1. Konseling individual,
dimana kepedulian untuk dapat memberi perhatian yang lebih besar.
2. Melihat pada kelompok
dan organisasi lain, dimana bantuan yang lebih spesifik dan spesialis dapat
diharapkan, atau
3. Mendaur ulang, dimana
individu dapat pergi melalui sebuah pengalaman kelompok yang sama sekali lagi
dan mempelajari pelajaran yang tertinggal pada pertama kali.
Dalam
semua kasus ini, fokusnya adalah dalam membantu anggota kelompok untuk
memaksimalkan kemampuan mereka, dan mencapai tujuan mereka. Melalui prosedur
ini, anggota kelompok lebih banyak menemukan mengenai diri mereka sendiri,
mencoba untuk lebih memahami orang lain, dan mengambil langkah-langkah untuk
menciptakan tipe-tipe masyarakat atau organisasi yang mereka butuhkan.
Kadang-kadang,
individu mengehentikan kelompok secara tiba-tiba atau pengalaman kelompok
berakhir begitu saja karena tindakan pemimpin kelompok. Kedua masalah itu
adalah contoh-contoh dari penghentian prematur dan mungkin menyebabkan
kesulitan bagi peserta (Donigian & Malnati dalam Mungin Eddy Wibowo,
2005:102). Berbagai sudut pandang teoritikal dan penanganan praktisi untuk
keadaan secara berbeda. Sebagai contoh, sebuah kelompok konseling, anggota dan
pemimpin mungkin mempercayai sebuah penilaian dari anggota kelompok yang
meninggalkan kelompok sebelum jadwalnya berakhir adalah tindakan yang terbaik,
dimana orientasi konselor mungkin berkonsentrasi pada mencoba untuk mencegah
seorang anggota untuk tidak pergi. Sebuah sudut pandang psikodinamis mungkin
menggali reaksi pribadi dihubungkan dengan penghentian prematur.
Ada
batas-batas etika untuk mengikuti masalah penghentian prematur berkaitan dengan
alasan untuk tindakan atau keadaan teoritikal pemimpin kelompok. Sebagian besar
batasan ini diterapkan untuk konseling, karena akibat dari pengehentian
prematur adalah lebih besar dari pada tipe kelompok ini. Biasanya, tiga tipe
penghentian prematur harus berhubungan dengan: (a) penghentian kelompok sebagai
satu kesatuan, (b) penghentian pada anggota kelompok yang berhasil, dan (c)
penghentian pada anggota kelompok yang tidak berhasil (Yalom dalam Mungin Eddy
Wibowo, 2005:102).
Penghentian
prematur dari kelompok keseluruhan mungkin terjadi karena tindakan pemimpin
kelompok atau anggota. Pemimpin kelompok mungkin menghentikan kelompok secara
prematur dengan tepat jika mereka sakit, pergi/pindah, atau ditugaskan pada
jabatan lain. Untuk mengatasi tipe penghentian ini dengan tepat, pemimpin
kelompok perlu untuk memiliki paling tidak sebuah pertemuan kelompok untuk
mengucapkan selamat tinggal bagi anggota sebagai keseluruhan, atau mereka perlu
untuk mampu mengadakan hubungan secara langsung dengan anggota kelompok.
Penghentian kelompok prematur yang tidak tepat, bagaimanapun atau bahkan sangat
menekan. Pemimpin kelompok yang menghentikan kelompok secara prematur karena
mereka merasakan ketidak nyamanan pribadi, gagal untuk mengenali dan
mengkonsepkan masalah, atau merasa terbebani dengan masalah-masalah anggota
yang mereka lakukan sendiri dan meninggalkan kelompok dan anggotanya dengan
masalah yang tidak terselesaikan.
Bagi
individu anggota kelompok, penghentian prematur mungkin berkaitan dengan alasan
yang tidak tepat atau tepat, dan pengalaman keberhasilan atau kegagalan. Yalom dalam
Mungin Eddy Wibowo, 2005:103) membuat daftar sejumlah alasan yang seringkah
diberikan oleh individu anggota kelompok yang meninggalkan psikoterapi dan
konseling kelompok secara prematur:
1. faktor-faktor eksternal
( konflik penjadwalan atau tekanan eksternal).
2. ketidak cocokan
(anggota yang tidak cocok dengan anggota lain).
3. masalah kedekatan.
4. takut akan kontak emosional
(contoh, sebuah reaksi pribadi negatif untuk mendengarkan masalah anggota
kelompok lainnya).
5. ketidakmampuan untuk
berbagi dokter (menginginkan perhatian pribadi dari pemimpin kelompok).
6. komplikasi individu dan
terapi kelompok.
7. provokator awal
(tertutup, penolakan yang kuat pada kelompok).
8. orientasi yang tidak
terpengaruh pada terapi.
9. komplikasi yang muncul
dari sub-kelompok.
Gladding
(2005:309) menambahkan bahwa pada
tahap perkabungan/ terminasi. Kelompok tersebut berakhir, dan para anggota
mengucapkan selamat berpisah terhadap satu sama lain dan terhadap kelompok.
Pada terminasi, anggota dapat merasa terpenuhi atau pahit. Kadang-kadang
diselenggarakan pesta perpisahan dalam kelompok, minimal, perayaan penutupan
hampir selalu diadakan.
Selanjutnya
Corey (2012:138) merincikan tugas pemimpin kelompok (konselor) dalam tahap
penutupan/ akhir ini, yaitu:
1. Memperkuat
perubahan anggota yang telah dibuat dan memastikan bahwa anggota memiliki
informasi tentang sumber daya untuk memungkinkan mereka untuk membuat perubahan
selanjutnya.
2. Membantu
anggota dalam menentukan bagaimana mereka akan menerapkan keahlian tertentu
dalam berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk membantu mereka
untuk mengembangkan kontrak tertentu dan rencana aksi yang ditujukan pada
perubahan.
3. Membantu
anggota konsep apa yang sedang terjadi dalam kelompok dan mengidentifikasi
kunci titik balik.
4. Membantu
anggota untuk meringkas perubahan mereka dan melihat kesamaan dengan anggota
lain.
5. Membantu
peserta mengembangkan kerangka kerja konseptual yang akan membantu mereka
memahami, mengintegrasikan, menggabungkan, dan mengingat apa yang telah mereka
pelajari dalam kelompok.
Membuat rencana setelah pemeliharaan untuk anggota
yang digunakan di lain waktu.
DAFTAR REFERENSI
Corey, Gerald. 2012. Theory and Practice of Group Counseling (8th edition).
Gibson, R.L. dan Mitchell, M.H.
2011. Bimbingan dan Konseling: Terjemahan
Introduction to Counseling and Guidance (Edisi Ketujuh). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gladding, Samuel T. 2012. Konseling: Profesi yang Menyeluruh (Edisi
Keenam). Jakarta: Permata Puri Media.
thank's artikelnya cukup bagus, kalau ada luang waktu bisa ditulis tahapan konseling kelompok dalam praktik, trimakasih mas jati.... tetap semangat!
ReplyDelete