Sekolah merupakan suatu organisasi yang bergerak di bidang
pendidikan, yang merupakan salah atu faktor penentu mutu Sumber Daya Manusia
(SDM). Melalui lembaga ini para peserta didik, baik secara mental maupun
intelektual, digembleng agar dapat mencapi mutu sesuai target yang ditetapkan
oleh sekolah. Sementara itu, apabila kita amati kondisi SDM kita, kualitas
manusia Indonesia yang belum begitu memuaskan telah menjadi berita rutin.
Setiap keluar laporan Human Development Index, posisi kualitas SDM kita selalu
berada di bawah. Senarnya, salah satu penyebab sekaligus kunci utama rendahnya
kualitas manusia Indonesia adalah kualitas pendidikan yang rendah. Kualitas
sosial-ekonomi dan gizi-kesehatan yang tinggi tidak akan dapat bertahan tanpa
adanya manusia yang memiliki pendidikan berkualitas.
Agar suatu organisasi memiliki daya saing yang tinggi dalam skala
global, maka organisasi tersebut harus mampu melakukan pekerjaan secara lebih
baik, efektif, dan efisien dalam menghasilkan output yang berkualitas tinggi dan
dengan harga yang bersaing. Untuk menghasilkan output yang bersaing, maka pada
masa mendatang bukan lagi mengandalkan keunggulan komparatif saja, melainkan
juga harus meningkatkan keunggulan kompetitif. Pengelolaan sumber daya akan
memiliki potensi yang tinggi untuk mengelolanya. Sekolah unggulan dipandang
sebagai salah satu alternatif yang efektif untuk meningkatkan kualitas
pendidikan sekaligus kualitas SDM.
Akan tetapi, benerkah sekolah-sekolah unggulan kita mampu
melahirkan manusia-manusia unggul? Sebutan sekolah unggulan itu sendiri
sebenarnya kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya adanya superioritas
dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkanh adanya “kesombongan”
intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah. Di negera-negara
maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul
(excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential.
Dari sisi ukuran muatan keunggulan, sekolah unggulan di Indonesia
bergerak untuk memenuhi syarat sebagai sekolah unggulan yang mampu mengukur
sebagian kemampuan akademis dan nonakademis. Dalam konsep yang sesungguhnya,
sekolah yang secara terus-menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan
sumber daya yang memilikinya secara optimal untuk menumbuhkan kembangkan prestasi
akademis siswa secara menyeluruh. Ini berarti bukan hanya prestasi akademis
saja yang ditumbuh kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral,
religi, emosi, spirit, adversity, dan inteligensi.
Sekolah unggulan yang sebenarnya adalah sekolah yang dibangun
secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang
otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan,
untuk menciptakan prestasi siswa yang tinggi, harus dirancang kurikulum yang
baik yang diajarkan oleh guru-guru berkualitas tinggi. Pada hal, sekolah
unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber
daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Artinya, tenaga administrasi,
pengembang kurikulum di sekola, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus
dilibatkan aecara aktif, karena semua sumber daya tersebut akan
menciptakan iklim sekolah yang mampu membentuk keunggulan sekolah.
Keunggulan sekolah terlebatak pada bagaimana cara sekolah merancang
- bangunan sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana warga
sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung
jawab yang sesuai, serta bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian
wewenang yang disertai tanggung jawab. Semua itu bermuara pada kunci utama
sekolah unggulan, yaitu keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan
memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya.
Menurut Suyanto, program kelas (baca: sekolah) unggulan di
Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah
malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas
unggulan diciptakan dengan cara mengelompokankan siswa menurut kemampuan
akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokkan siswa ke dalam
kelas-kelas menurut kemampuan akademisnya tidak sesuai dengan hakikat kehidupan
di masyarakat. Sementara, kita ketahui bahwa kehidupan di masyarakat tak ada
yang memiliki karakteristik homogen.
Pengembangan sekolah unggulan pada dasarnya berpijak di atas empat
strategi dasar kebijakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam
GBHN 1993, yaitu pemerataan kesempatan, relevansi, kualitas, dan efisiensi.
Namun, jika boleh mengkritisi, pelaksanaan sekolah unggulan di
Indonesia memiliki banyak kelemahan selain yang telah dikemukakan di depan.
Pertama, sekolah unggulan membutuhkan legitimasi, dari pemerintah, bukan atas
inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga, penetapan sekolah
unggulan cenderung bermuatan politis daripada muatan edukatifnya. Apabila
sekolah unggulan didasari ada pengakuan masyarakat, maka pemerintah tidak
pernah mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan
menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu.
Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara
golongan miskin tidak mungking mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara
akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki
kamampuan akademis tinggi, juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya,
penyelenggaraan sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity, yaitu
menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya, penyelenggaraan pendidikan amat
penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani
yang berkeadilan.
Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari
karakteristik prestasi yang tinggi berupa NEM, input siswa yang memiliki NEM
tinggi, ketegangan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah
yang kesemuanya sudah unggul. Bila bahan masukannya bagus, lalu diproses di
tempat yang baik dengan cara yang baik pula, maka wajar saja kalau hasil
keluarannya bagus. Yang seharusnya disebut sekolah unggul adalah apabila
masukan biasa-biasa saja atau kurang baik pula sehingga keluarannya bagus.
Oleh karena itu, penyelenggarakan sekolah unggulan harus segera
direstrukturiasi agar benar-benar bisa lahirkan manusia unggul yang bermanfaat
bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena
prevalensi akan berbakat sekitar 2% yang artinya setiap 1.000 terdapat 20 anak
berbakat.
Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI (1991), penduduk usia
sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan
memiliki anak berbakat sebanyak 1.529.565 orang. jumlah itu cukup untuk
memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota,
dan kecamataan.
Konsep sekolah unggulan yang tidak unggul, seperti yang telah
dipaparkan di atas, haru segera direstrukturisasi. Restrukturisasi sekolah
unggulan yang ditawarkan adalah sebagai berikut.
Pertama, program sekolah unggulan tidak perlu memisahkan antara
anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat
keunggulan.
Kedua, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada
kemampuan intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan
logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan seseorang
dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan, seperti yang kini telah dikenal
ada 8 jenis.
Ketiga, sekolah unggulan jangan hanya menjaring anak yang kanya
saja, tetapi menjaring semua anak yang memiliki bakat keunggulan dari semua
kalangan. Berbagai sekolah unggulan yang dikembangkan di Amerika justru untuk
membela kalangan miskin. Misalnya, Effective School yang dikembangkan awal
1980-an oleh Ronald Edmonds di miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak
dari keluarga kaya. Demikian pula dengan School Development Program yang
dikembangkan oleh James Comer disetujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi
siswa yang berasal dari keluarga miskin. Essential School yang diciptakan oleh
Theodore Sizer dari Brown University juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
siswa kurang mampu.
Keempat, sekolah unggulan harus memiliki model manajemen sekolah
yang unggul, yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder sekolah,
memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya sekolah yang kuat,
mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargai prestasi setiap siswa berdasarkan
kondisinya masing-masing, serta terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak
terkait dengan memuaskan.
Itu semua akan tercapai apabilal pengelolaan sekolah trelah mandiri
di atas pundaksekolah sendiri, bukan ditentukan oleh birokrasi yang lebih
tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan sekolah unggulan karena
terdapat dua suprastruktur yang mendukung.
Pertama,dikeluarkannya UU Pendidikan No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, di mana pendidikan termasuk salah satu bidasng yang
didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara sekolah dan
Kabupaten/Kota, diharapkan perhatian pemerintah daerah terhapat pengembangan
sekolah unggulan semakin serius. Kedua, adanya UU No. 25 Tahun 2000 yang
didalamnya memuat bahwa salah satu program pendidikan prasekolah, pendidikan
dasar dan pendidikan menengah adalah terwujudnya pendidikan berbasis
masyarakat/sekolah. Melalui pendidikan berbasis masyarakat/sekolah inilah warga
sekolah akan memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola sekolah. Setiap sekolah
akan menjadi sekolah unggulan apabila diberi wewenang untuk mengelola dirinya
sendiri dan diberi tanggung jawab penuh.
Selama sekolah-sekolah hanya dijadikan alat oleh birokrasi di
atasnya (baca: kementerian pendidikan), maka sekolah tidak akan pernah menjadi
sekolah ungggulan. Bisa saja semua sekolah menjadi sekolah unggulan yang
berbeda-beda berdasarkan potensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua sekolah
telah menjadi sekolah unggulan maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit
dari keterpurukannya.
No comments:
Post a Comment