Hasrat, Komitmen Dan Keberanian
Namanya Vani.(Stivani). Ia adalah gadis pemalu, berusia 17 tahun. Tinggal
di rumah berkamar dua bersama dua saudara dan orangtuanya. Ayahnya
adalah Satpam dan ibunya pembantu rumah tangga. Pendapatan
tahunan mereka, tidak setara dengan biaya kuliah sebulan di Amerika.
Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia.
"Aku ingin kuliah di Amerika," tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Vani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar.
"Ia belajar lebih giat dari pada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya," tutur sang guru. "Semangat Vani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat."
Vani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada.
Namun, Vani memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun.
"Maukah Anda mengirimkan namaku?" pintanya untuk didaftarkan sebagai penerima beasiswa.
"Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya," ujar sang guru.
"Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Vani bahwa peluangnya untuk diterima itu tipis, mungkin nihil."
Pada minggu-minggu berikutnya, Vani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar bagian-bagian komputer dan cara kerjanya.
Lalu, tepat sebelum Vani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat dari asosiasi beasiswa itu.
"Inilah saat yang kejam. Penolakan," pikir sang guru.
Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Vani diterima....
"Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah diketahui Vani sejak awal: bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk percaya akan dirimu sendiri," tutur sang guru menutup kisahnya.
Kisah Vani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship, dan dimuat di buku "Chicken Soup for the College Soul", yang edisi Indonesianya telah diterbitkan.
Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa.
Yang istimewa, Vani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda,
"Perbedaan antara yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang."
Anda memilikinya?
Anda memilikinya?
No comments:
Post a Comment