MASUKAN
PEMIKIRAN TENTANG
PERAN
BIMBINGAN
DAN KONSELING
DALAM KURIKULUM
2013
Oleh: Masyarakat Profesi Bimbingan dan
Konseling Indonesia
Terdorong oleh rasa tanggung jawab dan kehendak untuk berpartisipasi dalam rangka
implementasi Kurikulum
2013, sebagai
upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, Masyarakat Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia yang berhimpun dalam:
1. Himpunan
Sarjana Bimbingan dan
Konseling Indonesia
(HSBKI),
unsur
Himpunan Ikatan
Sarjana Pendidikan Indonesia
(ISPI)
2. Musyawarah
Guru
Bimbingan dan
Konseling Nasional
(MGBKN)
(FK- JPBKI)
4. Ikatan Bimbingan dan Konseling Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia
(ABKIN)
5. Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling (IPSIKON), divisi Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia
(ABKIN),
mengadakan serangkaian diskusi tentang peran bimbingan dan konseling terkait
Kurikulum 2013 dan implementasinya. Berdasarkan hasil pemikiran bersama, Masyarakat
Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia menyampaikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
A. HAKIKAT PEMINATAN DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM
2013
1. Kaidah dasar yang dinyatakan secara eksplisit dalam Kurikulum 2013 yang
berkaitan langsung
dengan layanan bimbingan dan konseling
adalah kaidah
peminatan. Peminatan difahami sebagai upaya advokasi dan fasilitasi
perkembangan peserta didik agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya (arahan Pasal 1 ayat 1 UU No.
20/2003) sehingga mencapai
perkembangan optimum. Perkembangan optimum bukan sebatas tercapainya prestasi sesuai dengan kapasitas intelektual dan minat yang
dimiliki, melainkan sebagai
sebuah
kondisi
perkembangan yang
memungkinkan
peserta didik
mampu
mengambil
pilihan
dan
keputusan
secara
sehat
dan
bertanggung jawab serta memiliki daya
adaptasi tinggi terhadap dinamika
kehidupan yang
dihadapinya. Dengan demikian, peminatan adalah
sebuah proses yang akan melibatkan serangkaian
pengambilan pilihan dan keputusan oleh peserta
didik yang didasarkan atas pemahaman potensi diri dan peluang yang ada di lingkungannya. Dilihat dari
konteks ini maka bimbingan dan konseling
adalah “wilayah layanan yang
bertujuan memandirikan individu yang normal dan sehat
dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan
keputusan termasuk yang terkait
dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi
warga masyarakat yang peduli
kemaslahatan umum (the Common
Good) melalui (upaya) pendidikan.” (ABKIN: 2007).
2. Peminatan
adalah
proses
yang berkesinambungan
untuk
memfasilitasi
peserta
didik mencapai Tujuan Utuh Pendidikan Nasional, dan oleh karena itu peminatan harus berpijak pada
kaidah-kaidah dasar yang secara eksplisit dan
implisit, terkandung dalam Kurikulum. Kaidah-kaidah dimaksud ialah bahwa Kurikulum 2013:
2.1. memiliki spirit kuat untuk pemulihan fungsi dan arah pendidikan yang lebih konsisten sesuai dengan pasal 3 UU No 20 tahun 2003, yang
bermakna bahwa watak dan peradaban bangsa
yang sesuai dengan
nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila
dan UUD 1945 harus menjadi
tujuan eksistensial pedidikan, yang melandasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagai tujuan kolektif-kultural pendidikan, yang
diejawantahkan melalui pengembangan potensi peserta didik sebagai tujuan
individual pendidikan.
2.2. dimaksudkan untuk menyiapkan peserta didik agar sukses
dalam
menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan kehidupan di era
globalisasi
dengan tetap berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
2.3. menitikberatkan pada pencapaian kompetensi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan sebagai keutuhan yang harus
dicapai oleh peserta didik; dan
juga tidak memisahkan antara
mata
pelajaran dengan muatan lokal,
pendidikan akademik, dan pendidikan karakter
sebagai keutuhan yang
memberikan kemaslahatan bagi bangsa.
2.4. memiliki spirit yang kuat untuk memulihkan proses pendidikan sebagai
proses pembelajaran yang
mendidik dan wahana
pengembangan
karakter,
kehidupan yang demokratis,
dan
kemandirian sebagai softskills, serta penguasaan sains, teknologi, dan seni sebagai hardskills. Capaian
pendidikan merupakan interaksi yang fungsional antara
efektivitas
kurikulum berbasis kompetensi
dan
pembelajaran siswa aktif
dengan lama
pembelajaran di sekolah.
2.5. memandang bahwa peserta didik
aktif dalam proses pengembangan potensi dan perwujudan dirinya
dalam konteks sosial kultural, sehingga menuntut profesionalitas guru yang mampu mengembangkan strategi
pembelajaran yang menstimulasi peserta didik untuk belajar lebih aktif.
2.6. menekankan
penilaian berbasis proses dan hasil.
Ini berarti ukuran
keberhasilan pendidikan tidak
hanya akumulasi
fakta dan pengetahuan sebagai hasil dari ekspose didaktis, tetapi juga
menekankan pada proses pembelajaran yang
mendidik.
2.7 tidak menyederhanakan upaya
pendidikan sebagai pencapaian target- target
kuantitatif berupa
angka-angka hasil ujian sejumlah mata pelajaran akademik
saja, tanpa penilaian
proses
atau upaya
yang dilakukan oleh peserta didik. Kejujuran, kerja keras dan disiplin adalah hal
yang tidak boleh luput
dari
penilaian proses. Hasil penilaian juga harus
serasi dengan perkembangan akhlak dan karakter peserta
didik sebagai
makhluk individu, sosial,
warga negara dan sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa.
2.7. mengakui dan menghormati adanya
perbedaan kemampuan dan
kecepatan belajar peserta
didik, yang secara tegas menuntut
adanya
remediasi dan akselerasi secara
berkala pasca
penilaian, terutama bagi
peserta didik yang belum mencapai batas kompetensi yang ditetapkan. Tidak semua peserta
didik memiliki kemampuan dan kecepatan yang
sama
dalam mencapai kompetensi yang ditetapkan. Memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk mencapai kompetensi utuh
sesuai
dengan kemampuan dan kecepatan belajarnya adalah prinsip
pendidikan yang paling fundamental. Kurikulum 2013 lebih sensitif
dan respek terhadap
perbedaan kemampuan
dan kecepatan belajar
peserta didik.
2.8. memberikan peluang yang lebih terbuka kepada setiap peserta didik
untuk mengembangkan berbagai potensi
yang dimilikinya secara fleksibel tanpa dibatasi dengan sekat-sekat penjurusan yang terlalu kaku.
2.9. menuntut adanya kolaborasi yang baik antara guru mata pelajaran,
guru BK/konselor dan orang tua/wali dalam mengoptimalkan potensi peserta didik.
2.10. menekankan pada proses, mengandung implikasi peran pendidikan
yang mengarah kepada orientasi perkembangan dan pembudayaan
peserta didik. Oleh karena itu, proses pendidikan melibatkan manajemen,
pembelajaran, dan bimbingan
dan konseling.
B. PERAN
DAN
FUNGSI BIMBINGAN
DAN
KONSELING
DALAM
IMPLEMENTASI KURIKULUM
2013
Bimbingan dan konseling adalah upaya pendidikan dan merupakan bagian integral dari
pendidikan yang secara
sadar memposisikan “... kemampuan peserta
didik untuk mengeksplorasi, memilih, berjuang meraih, serta mempertahankan karier itu
ditumbuhkan secara isi-mengisi atau komplementer oleh guru bimbingan dan konseling/ konselor dan
oleh
guru mata pelajaran dalam
setting pendidikan khususnya dalam jalur
pendidikan formal,
dan
sebaliknya tidak merupakan
hasil
upaya yang
dilakukan sendirian oleh Konselor, atau yang dilakukan sendirian oleh Guru.” (ABKIN:
2007).
Ini berarti bahwa
proses peminatan, yang difasilitasi oleh layanan bimbingan dan
konseling, tidak berakhir pada penetapan pilihan dan keputusan bidang atau rumpun
keilmuan yang dipilih peserta didik di dalam mengembangkan potensinya, yang akan
menjadi dasar bagi perjalanan hidup dan karir selanjutnya,
melainkan harus diikuti dengan layanan pembelajaran yang mendidik, aksesibilitas perkembangan yang luas dan terdiferensiasi, dan penyiapan lingkungan perkembangan/belajar yang
mendukung. Dalam konteks ini
bimbingan dan konseling berperan dan berfungsi, secara
kolaboratif,
dalam hal-hal berikut.
1. Menguatkan
Pembelajaran yang
Mendidik
Untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1), 1 (2), Pasal 3,
dan Pasal 4 (3) UU No.
20 tahun 2003 secara utuh,
kaidah-kaidah implementasi Kurikulum 2013 sebagaimana dijelaskan harus bermuara
pada perwujudan suasana dan proses pembelajaran mendidik yang memfasilitasi perkembangan potensi
peserta didik.
Suasana belajar dan proses pembelajaran dimaksud pada
hakikatnya adalah
proses mengadvokasi
dan
memfasilitasi perkembangan peserta didik yang dalam implementasinya memerlukan penerapan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling.
Bimbingan dan konseling harus meresap ke dalam kurikulum dan pembelajaran untuk mengembangkan lingkungan belajar
yang mendukung
perkembangan potensi peserta didik. Untuk mewujudkan lingkungan belajar dimaksud, guru
hendaknya:
(1) memahami kesiapan belajar peserta
didik dan penerapan prinsip bimbingan dan konseling dalam pembelajaran, (2)
melakukan
asesmen potensi
peserta didik,
(3) melakukan diagnostik kesulitan perkembangan dan
belajar peserta didik, (4) mendorong terjadinya internalisasi nilai sebagai proses individuasi peserta didik. Perwujudan keempat prinsip
yang disebutkan dapat dikembangkan melalui kolaborasi pembelajaran dengan bimbingan dan konseling.
2. Memfasilitasi Advokasi dan
Aksesibilitas
Kurikulum 2013 menghendaki adanya diversifikasi layanan, jelasnya layanan
peminatan. Bimbingan dan konseling berperan melakukan advokasi, aksesibilitas, dan fasilitasi agar terjadi diferensiasi dan diversifikasi layanan pendidikan bagi
pengembangan pribadi, sosial, belajar
dan
karir peserta
didik. Untuk itu kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan
guru mata pelajaran perlu
dilaksanakan dalam bentuk: (1) memahami potensi dan pengembangan
kesiapan belajar peserta didik, (2) merancang
ragam program pembelajaran dan
melayani kekhususan kebutuhan peserta didik, serta (3)
membimbing perkembangan
pribadi, sosial, belajar
dan
karir.
3. Menyelenggarakan Fungsi
Outreach
Dalam upaya
membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan,
sesuai dengan arahan Pasal 4 (3) UU No.
20/2003, Kurikulum 2013
menekankan pembelajaran sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan. Untuk
mendukung prinsip dimaksud bimbingan dan konseling
tidak cukup
menyelenggarakan fungsi-fungsi inreach tetapi juga melaksanakan fungsi
outreach yang berorientasi pada penguatan daya dukung lingkungan
perkembangan sebagai lingkungan belajar. Dalam
konteks ini kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan
guru
mata
pelajaran hendaknya
terjadi dalam konteks kolaborasi yang lebih luas, antara lain: (1) kolaborasi
dengan orang tua/keluarga, (2) kolaborasi dengan dunia kerja
dan
lembaga pendidikan, (3) “intervensi” terhadap institusi terkait lainnya dengan tujuan
membantu
perkembangan peserta didik.
C. EKSISTENSI
BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM
IMPLEMENTASI KURIKULUM
2013
Keberadaan Bimbingan dan konseling dalam pendidikan di Indonesia,
sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1964, yang disebut “Bimbingan dan
Penyuluhan” ketika diberlakukan “Kurikulum Gaya Baru.”Bimbingan dan
Penyuluhan pada waktu itu dipandang
sebagai unsur pembaharuan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Sejak diberlakukan Kurikulum Tahun
1975, pelayanan bimbingan dan penyuluhan telah dijadikan sebagai bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan. Petugas yang secara khusus melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling pada
saat itu disebut
Guru Bimbingan dan Penyuluhan (Guru BP).
Sejak diberlakukannya kurikulum 1994,
sebutan untuk Guru BP berubah menjadi
Guru Pembimbing, sebutan resmi ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 84 Tahun 1995 tentang Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan
dan
Kebudayaan No.025/0/1995
tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya antara
lain mengandung arahan
dan
ketentuan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD dan guru pembimbing di SLTP dan SLTA.
Walaupun kedua aturan tersebut
mengandung hal-hal yang berkenaan
dengan pelayanan bimbingan dan konseling, tetapi tugas itu dinyatakan sebagai
tugas guru (dengan sebutan
guru pembimbing) dan tidak secara eksplisit
dinyatakan sebagai tugas konselor.
Hal ini dapat dipahami karena sebutan konselor belum ada
dalam perundangan. Penggunaan sebutan
guru, sangat merancukan konteks tugas guru yang
mengajar dan konteks tugas konselor
sebagai penyelenggara pelayanan ahli bimbingan dan konseling. Guru pembimbing yang pada saat
ini ada di lapangan pada
hakikatnya melaksanakan
tugas sebagai
konselor, tetapi sering diperlakukan dan diberi tugas layaknya
guru mata pelajaran.
Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan
pembelajaran dalam konteks adegan belajar mengajar
di kelas yang layaknya
dilakukan guru sebagai
pembelajaran bidang
studi, melainkan pelayanan ahli dalam konteks memandirikan peserta
didik. (ABKIN: 2007).
Dalam Kurikulum
Tingkat
Satuan Pendidikan
(KTSP 2006), posisi
dan arah layanan bimbingan dan konseling di sekolah sesungguhnya
mengalami kemunduran, karena adanya
pemahaman tentang konteks tugas dan ekspektasi
kinerja
konselor yang tidak menggunakan materi pelajaran sebagai konteks
layanan keahliannya, dengan ekspektasi kinerja
guru yang menggunakan materi
pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya. Bimbingan dan konseling dibawa
ke wilayah pembelajaran yang berpayung pada standar isi, bimbingan dan konseling menjadi bagian dari standar isi yang dituangkan menjadi
pengembangan diri dan
menjadi salah
satu
komponen kurikulum.
Sebagaimana telah
dinyatakan bahwa layanan bimbingan dan
konseling
di
sekolah merupakan bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan dalam jalur pendidikan formal
dan
layanan ini meskipun dilakukan oleh pendidik
yang disebut sebagai konselor, tetapi
ekspektasi
kinerja
profesionalnya berbeda dengan ekspektasi kinerja profesional yang dilakukan oleh guru. Jika ekspektasi
kinerja guru menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan
keahliannya, maka ekspektasi
kinerja konselor tidak demikian.
Ekspektasi kinerja konselor tidak meggunakan materi pelajaran dalam koteks
layanan keahliannya (bimbingan dan konseling), melainkan menggunakan proses pengenalan
diri
peserta
didik (konseli)
dengan memahami
kekuatan
dan kelemahannya dengan peluang dan tantangan
yang terdapat dalam ligkungannya, untuk menumbuhkembangkan kemandirian
dalam
mengambil
berbagai keputusan
penting dalam perjalanan hidupnya, sehingga
mampu
memilih, meraih serta mempertahankan karir (kemajuan hidup) untuk mencapai hidup yang
efektif, produktif,
dan sejahtera dalam konteks kemaslahatan
umum. Bimbingan dan konseling merupakan
upaya proaktif
dan sistematik
dalam memfasilitasi
peserta
didik mencapai
tingkat perkembangan yang
optimal, pengembangan perilaku efektif, pengembangan lingkungan perkembangan, dan
peningkatan keberfungsian individu di dalam lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut
merupakan proses perkembangan, yakni proses
interaksi
antara
individu dengan lingkungan perkembangan melalui interaksi yang sehat dan produktif.
Bimbingan dan konseling memegang
tugas dan tanggung jawab untuk
mengembangkan lingkungan perkembangan,
membangun interaksi
dinamis antara
individu dengan lingkungannya, membelajarkan individu untuk
mengembangkan, memperbaiki, dan memperhalus perilaku.
Posisi bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal seperti tertera pada Gambar 1,
mengindikasikan bahwa
pelayanan bimbingan dan konseling
merupakan bagian integral dari program
pendidikan.
Dengan demikian,
posisi guru bimbingan dan konseling (dalam Pasal 1 ayat 6 UU RI No.
20/2003 disebut konselor)
sejajar dengan guru bidang studi/mata pelajaran dan administrator
Sekolah/Madrasah. Demikian pula dalam Permendiknas No. 22/2006 menempatkan pelayanan bimbingan dan
konseling sebagai bagian integral dari
standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah.
Gambar
1. Posisi
Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan
Merujuk pada UU RI No.
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru pembimbing
dinyatakan dalam sebutan ‟Konselor.” Keberadaan konselor
dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu
kualifikasi
pendidik,
sejajar
dengan
kualifikasi guru,
dosen, pamong
belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU RI No. 20/2003, pasal 1 ayat
6).
Pengakuan secara eksplisit
dan
kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu
dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik,
termasuk konselor, memiliki
konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan setting pelayanan
spesifik yang mengandung keunikan dan perbedaan.
D. PRINSIP DASAR
LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM
IMPLEMENTASI KURIKULUM
2013
1. Hakikat dan Urgensi Bimbingan
dan Konseling
Bimbingan adalah upaya/proses fundamental pada
setiap ikhtiar pendidikan, baik
pendidikan formal, non-formal maupun informal. Dalam ketiga bentuk pendidikan tersebut, proses bimbingan (guidance) dipastikan selalu melekat di dalamnya. Berbeda dengan pengajaran, yang tidak selalu harus ada
di dalam setiap bentuk
pendidikan tersebut.
Bimbingan pada hakikatnya merupakan proses memfasilitasi pengembangan nilai-nilai inti karakter melalui proses interaksi yang empatik antara konselor (guru bimbingan dan konseling) dengan peserta didik, dimana konselor membantu peserta
didik
untuk mengenal kelebihan dan kelemahan dalam
berbgai aspek perkembangan dirinya,
memahami peluang dan tantangan yang ditemukan di
lingkungannya, serta mendorong penumbuhan kemandirian peserta didik (konseli) untuk
mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya
secara bertanggung
jawab dan mampu mewujudkan kehidupan yang
produktif, sejahtera, bahagia serta peduli terhadap kemaslahatan umat manusia.
Dasar
pertimbangan atau pemikiran tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya
landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, tetapi yang lebih penting
adalah menyangkut upaya
memfasilitasi peserta didik agar
mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai
tugas-tugas
perkembangannya dalam aspek fisik, emosi, intelektual, sosial,
dan
moral- spiritual.
Di manapun proses pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses perkembangan, karena setiap peserta didik adalah seorang individu yang sedang
berada dalam proses berkembang atau menjadi (on-becoming), yaitu berkembang
ke arah kematangan
atau kemandirian.
Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan (guidance), agar memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya
dan
lingkungannya serta
pengalaman dalam menentukan
arah
kehidupannya.
Alasan lain adalah adanya perbedaan individual pada
peserta didik dan keniscayaan bahwa proses perkembangan peserta
didik
tidak selalu berlangsung secara mulus, dalam alur yang
lurus, searah dengan potensi, harapan dan nilai-
nilai
yang dianut.
Perkembangan peserta didik tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial yang selalu berubah dan mempengruhi gaya
hidup (life style). Sifat yang melekat pada lingkungan adalah
perubahan. Pertumbuhan
jumlah penduduk yang
cepat,
kesenjangan tingkat
sosial ekonomi masyarakat,
revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga,
dan perubahan struktur
masyarakat
dari
agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti
: maraknya
tayangan
pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras,
dan
obat-obat
terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam
kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa
sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup peserta didik
(terutama pada usia remaja) yang
cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia),
seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah,
tawuran, meminum minuman keras,
menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan
pergaulan
bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat
tidak diharapkan, karena tidak
sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003),
yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri,
serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut
mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan
pendidikan untuk
senantiasa
memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian
tujuan pendidikan tersebut.
Dalam abad 21 ini, setiap peserta didik dihadapkan pada situasi kehidupan yang
kompleks dan penuh tantangan.
Dalam konstelasi kehidupan seperti ini,
setiap peserta didik memerlukan berbagai kompetensi hidup agar mampu menjadi
individu yang efektif, produktif dan bermaslahat bagi orang lain.
Untuk mengembangkan kompetensi hidup
seperti ini, maka sistem pelayanan pendidikan di sekolah yang efektif tidak cukup hanya dengan mengandalkan
pelayanan manajemen dan pembelajaran
mata pelajaran saja, melainkan perlu disertai dengan pelayanan bantuan khusus yang lebih bersifat
psiko-pedagogis
berbasis kepakaran. Layanan bantuan khusus (berbasis kepakaran) membantu
peserta didik agar mampu menghindari perilaku negatif dan pada saat yang sama mampu mengembangkan perilaku normatif dan efektif untuk mewujudkan kehidupan yang
produktif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan di atas, adalah dengan mengembangkan potensi peserta didik dan
memfasilitasi mereka secara sistematik, terprogram dan
kolaboratif untuk mampu
mencapai standar
kompetensi nilai perkembangan/perilaku atau karakter yang diharapkan. Upaya
ini merupakan
wilayah
garapan bimbingan dan
konseling yang harus dilakukan secara proaktif, intensional dan kolaboratif yang
diselenggarakan dengan berbasis data
perkembangan peserta didik secara
komprehensif
dalam berbagai aspek
kehidupannya.
Dengan
demikian, pendidikan
yang bermutu, efektif atau ideal adalah
yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang
administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan
yang hanya melaksanakan bidang
administratif dan instruksional dengan
mengabaikan bidang bimbingan
dan konseling, hanya akan menghasilkan peserta didik yang pintar
dan terampil dalam aspek akademik, tetapi
kurang memiliki kemampuan atau kematangan
dalam aspek kepribadian.
Pelayanan
bimbingan
dan konseling didasarkan
kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-
masalah peserta didik sebagai suatu keutuhan yang diselenggarakan secara intensif
dan kolaboratif. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi belajar,
pribadi,
sosial dan moral-spiritual,
serta
karir yang harus
dicapai tiap peserta didik sesuai usia kronologisnya, sehingga
pendekatan ini disebut
juga sebagai bimbingan dan konseling berbasis nilai-nilai inti karakter.
Standar dimaksud adalah
standar kompetensi kemandirian yang telah
dirumuskan berdasarkan hasil penelitian selama 5 tahun
dan
telah diimplementasikan di
berbagai jenjang
dan
jalur
pendidikan.
Dalam
pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara guru
bimbingan dan konseling/ konselor dengan
para
personal Sekolah/Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua
peserta didik, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan
dalam upaya membantu para peserta
didik agar dapat mengembangkan atau mewujudkan
potensi dirinya secara utuh, baik
menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar,
maupun karir.
Atas dasar itu, maka
implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan
potensi peserta didik,
yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi peserta
didik sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan
spiritual).
2. Kolaborasi Guru
Bimbingan dan Konseling/Konselor,
Guru Matapelajaran
dan Orang Tua dalam Pengembangan
Kemandirian sebagai Nilai Inti Karakter
Pelayanan bimbingan dan konseling
diharapkan membantu peserta didik dalam pengenalan diri, pengenalan lingkungan
dan
pengambilan keputusan, serta memberikan arahan terhadap perkembangan peserta didik;
dan tidak hanya untuk peserta didik
bermasalah tetapi menyangkut seluruh peserta didik.
Pelayanan bimbingan dan konseling tidak terbatas pada
peserta didik tertentu
atau yang perlu
„dipanggil‟ saja”, melainkan untuk seluruh
peserta didik (Guidance and counseling for all).
Di dalam Permendiknas No.
23 tahun 2006 dirumuskan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta
didik melalui proses pembelajaran bidang studi, maka
kompetensi peserta didik
yang harus dikembangkan melalui
pelayanan bimbingan dan konseling
adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) untuk mewujudkan diri (self actualization)
dan pengembangan
kapasitasnya (capacity development) yang dapat mendukung pencapaian
kompetensi lulusan. Sebaliknya, kesuksesan peserta didik dalam mencapai SKL
akan secara signifikan menunjang terwujudnya pengembangan kemandirian. Dalam hal ini kerjasama antara guru bimbingan dan konseling/konselor
dengan guru mata pelajaran merupakan suatu keharusan. Persamaan, keunikan, dan keterkaitan wilayah pelayanan guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan
konseling/ konselor dalam konteks pencapaian standar kompetensi peserta
didik disajikan pada Gambar 2.
PERKEMBANGAN OPTIMUM PESERTA DIDIK:
BELAJAR, PRIBADI, SOSIAL DAN
KARIR
Standar
Kompetensi Kemandirian utk mewujudkan diri
(belajar, karir, sosial, pribadi)
(Bimbingan dan Konseling)
|
Misi bersama guru
dan konselor dalam
memfasilitasi perkembangan peserta didik seutuhnya dan pencapaian
tujuan pendidikan nasional
|
Standar
Kompetensi Lulusan mata pelajaran
(Pembelajaran bidang studi)
|
WILAYAH
KONSELOR
|
KOLABORASI KONSELOR
DENGAN
GURU/PIHAK
LAIN
|
WILAYAH GURU
|
Gambar 2. Hubungan Kolaboratif Wilayah
Kerja
Guru bimbingan dan
konseling/Konselor dan Guru Matapelajaran
Tugas-tugas pendidik
untuk mengembangkan peserta didik
secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh
guru mata
pelajaran, guru bimbingan dan
konseling/konselor,
dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Sementara
itu, masing-masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam
mendukung realisasi diri dan
pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan fungsional kemitraan
(kolaboratif) antara guru bimbingan dan konseling/konselor
dengan guru mata
pelajaran, antara lain dapat
dilakukan melalui kegiatan rujukan
(referal). Masalah-masalah
perkembangan
peserta
didik yang
dihadapi guru
mata pelajaran pada
saat pembelajaran dirujuk kepada guru bimbingan dan
konseling/konselor untuk penanganannya.
Demikian pula masalah yang ditangani
guru bimbingan
dan konseling/konselor
dirujuk kepada guru mata
pelajaran untuk menindaklanjutinya
apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata pelajaran. Masalah kesulitan belajar peserta didik sesungguhnya
akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri.
Ini berarti bahwa di
dalam pengembangan dan proses
pembelajaran bermutu, fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian
guru mata pelajaran, dan
sebaliknya, fungsi-fungsi pembelajaran mata pelajaran perlu mendapat
perhatian guru bimbingan dan konseling/konselor.
Layanan
bimbingan
dan
konseling
diperuntukan
bagi semua (guidance and
counseling for all), dan oleh karena itu tidaklah tepat jika orientasinya hanya
kepada
pemecahan masalah, melainkan mencakup orientasi pengembangan (developmental) dan pemeliharaan (maintanance) serta pencegahan (preventive)
secara menyeluruh. Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya
memfasilitasi perkembangan individu (dalam aspek pribadi,
sosial, belajar, dan karir)
ke arah kemandirian (dalam
hal menetapkan pilihan,
mengambil
keputusan,
dan tanggung
jawab atas pilihan dan keputusan sendiri) untuk mewujudkan
diri (self-realization) dan mengembangkan
kapasitas (capacity
development).
Prinsip bimbingan dan konseling
untuk semua mengandung arti bahwa target
populasi layanan bimbingan dan
konseling dalam jalur
pendidikan formal
termasuk para peserta didik yang berbakat dan berkebutuhan khusus, terutama yang
memiliki kecakapan intelektual normal.
Layanan bimbingan dan konseling
bagi
anak berkebutuhan
khusus akan amat erat kaitannya dengan kegiatan
hidup sehari-hari (daily living activities) yang tidak terisolasi dari konteks. Oleh
karena
itu, layanan bimbingan dan konseling
bagi anak berkebutuhan khusus merupakan layanan intervensi tidak langsung yang akan lebih terfokus pada
upaya mengembangkan lingkungan perkembangan (inreach maupun outreach) bagi kepentingan dalam memfasilitasi perkembangan peserta
didik, yang akan
melibatkan banyak pihak di dalamnya terutama guru pendidikan khusus dan orang tua.
Demikian pula
bimbingan dan konseling
bagi
anak berbakat, tidak diperlakukan
dan dipandang sebagai upaya yang luar biasa, melainkan dilihat sebagai bagian dari
upaya mewujudkan
tujuan pendidikan nasional,
baik di tingkat
satuan
pendidikan maupun individual. Oleh karena itu, pencapaian prestasi luar biasa misalnya
prestasi dalam olimpiade fisika,
olimpiade matematika
dan
dalam berbagai mata
pelajaran lain, sejajar dengan keberbakatan bidang olah raga,
misalnya
bulutangkis, tinju, catur, yang memang memerlukan takaran latihan lebih
dari yang
diperlukan
oleh
peserta didik
pada
umumnya. Di bidang
pendidikan pada umumnya, sebagai hasil pendidikan nasional, diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat dan dituntun keimanan, yang
menghargai keragaman dalam ragam kehidupan berbangsa (bhineka), akrab
dan
fasih iptek serta menguasai softskills, serta bugar scara fisik di samping memiliki
kebiasaan
hidup sehat.
E. KERANGKA PROGRAM
BIMBINGAN
DAN
KONSELING
DALAM
KURIKULUM2013
Merujuk Gambar 1 tentang posisi bimbingan dan konseling
dalam pendidikan,
konteks tugas konselor dalam pendidikan adalah dalam
proses pengenalan diri oleh
pesera didik (konseli) beserta peluang
dan
tantangan yang ditemukannya dalam lingkungan, sehingga peserta
didik mandiri mengambil keputusan penting
perjalanan hidupnya (belajar, pribadi,
sosial dan karir) dalam rangka mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan bahagia
serta peduli kepada kemaslahatan umum, melalui berbagai
upaya yang dinamakan pedidikan.
Fokus layanan bimbingan dan
konseling adalah menumbuh-kembangkan
kompetensi kemandirian sebagai nilai inti karakter. Dalam konteks ini, perlu
dikembangkan: (a) sikap
dan
berperilaku baik,
jujur dan etis;
(b) belajar bertanggungjawab; (c) disiplin, kerja
keras
dan
efisien; (d) kesadaran kultural sebagai warganegara, seperti
peduli, toleran, saling
menghargai; dan (e)
peningkatan pengetahuan
dan keterampilan hidup sesuai dengan
tingkat perkembangan.
Program bimbingan dan konseling
di sekolah bukan merupakan aktivitas ekstrakurikuler, melainkan merupakan suatu program yang secara sistematis
diarahkan untuk mengoptimalkan
pencapaian kompetensi perkembangan setiap
peserta didik dalam aspek pribadi, sosial, belajar dan
karirnya secara
utuh dimana nilai inti
karakter
melekat di dalam
semua bidang layanan tersebut.
Konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan target populasi layanan bimbingan dan
konseling, sebagai layanan ahli, seorang guru bimbingan dan konseling/konselor memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling yang berorientasi pengembangan dan pemeliharaan karakter, dan melayani seluruh peserta didik, dengan kerangka program kerja utuh yang meliputi
komponen-komponen sebagai
berikut.
Layanan Dasar, yaitu layanan yang bersifat
antisipatoris, preventif dan pengembangan. Layanan ini diperuntukan
bagi
semua peserta didik tanpa terkecuali. Layanan
dasar
diarahkan untuk pengembangan kompetensi
perkembangan sesuai dengan tahap dan tugas-tugas
perkembangan peserta didik. Layanan ini dapat dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling/konselor
sendiri maupun dengan kolaborasi antara guru bimbingan dan
konseling/konselor, guru mata pelajaran, orang tua, dan pakar yang berada di luar
sekolah. Bentuk layanan yang
diupayakan
antara lain:
(1) Penyelenggaraan asesmen dalam berbagai aspek perkembangan seperti data
demografis, hasil belajar, bakat,
minat,
kecerdasan, kepribadian, kebiasaan
belajar dan jaringan hubungan sosial;
(2) Advokasi dan fasilitasi pemilihan rumpun/bidang keilmuan yang diminati melalui
proses konseling,
konsultasi
dan layanan
lain yang relevan.
(3) Bimbingan
klasikal atau
bimbingan
kelompok
yang diselenggarakan
secara
regular dan terjadual dengan menggunakan metode dan teknik khas bimbingan
dan
konseling yang menarik, interaktif,
menyenangkan, dan reflektif. Jika diperlukan, bimbingan klasikal dimaksud bisa
dilakukan secara kolaboratif
bersama guru bidang studi pada saat pembelajaran berlangsung.
(4) Pengembangan perilaku jangka panjang yang menunjang kesuksesan belajar,
pengembangan pribadi dan sosial, dan karir peserta didik. Layanan ini dilakukan
dengan “membelajarkan” peserta
didik atas topik-topik yang relevan dengan kebutuhan peserta
didik seperti sikap dan keterampilan belajar, pemecahan
masalah,
hubungan sosial, keterampilan komunikasi yang efektif, negosiasi dan
manajemen konflik, pengembngan sikap
toleran, kepercayaan diri, konsep
diri, pengendalian emosi, kerja sama, perilaku etis, kreativitas, disiplin, Say No to Drugs, dan sebagainya.
(5) Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling dan penggunaannya untuk asesmen perkembangan baik dalam kegiatan khusus
maupun kegiatan tatap
muka terjadwal di kelas sangat
diperlukan untuk implementasi komponen ini.
Mengacu kepada prinsip kolaborasi guru mata pelajaran bisa mendukung pencapaian kompetensi belajar peserta didik melalui pengembangan nuturant effect pembelajaran.
Layanan Responsif, yaitu
layanan
yang dimaksudkan untuk membantu peserta didik memecahkan masalah
(pribadi, sosial, belajar, karir) yang
dihadapinya pada
saat ini dan memerlukan pemecahan segera. Penggunaan
instrumen
pemahaman peserta didik diperlukan untuk mendeteksi masalah apa
yang perlu dientaskan. Di sinilah layanan konseling individual maupun kelompok diperlukan dengan
segala
perangkat pendukungnya.
Layanan Perencanaan Individual, yaitu layanan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi peserta didik secara
individual di dalam merencanakan masa depannya berkenaan dengan kehidupan akademik maupun karir. Pemahaman peserta didik secara
mendalam dengan segala
karakteristiknya dan penyediaan informasi
yang akurat sesuai dengan peluang dan potensi yang
dimiliki peserta didik amat
diperlukan, sehingga peserta didik mampu memilih dan mengambil
keputusan yang tepat dalam mengembangkan potensinya secara optimal, termasuk peminatan, keberbakatan, dan kebutuhan khusus
peserta
didik.
Kegiatan orientasi,
informasi, konseling
individual, rujukan, kolaborasi, dan
advokasi diperlukan
dalam
implementasi layanan ini.
Dukungan Sistem dan Kolaboratif, yaitu kegiatan yang terkait
dengan dukungan manajemen, tata kerja, infrastruktur (misalnya Teknologi Informasi dan Komunikasi),
kolaborasi atau konsultasi dengan berbagai pihak yang dapat membantu peserta
didik, pelatihan pembelajaran bernuansa
bimbingan dan konseling bagi guru mata pelajaran, termasuk pengembangan kemampuan guru BK/konselor secara berkelanjutan sebagai profesional.
Pengaturan proporsi layanan setiap komponen program
bimbingan dan konseling
di sekolah
dalam Kurikulum 2013 dapat diatur
dalam pedoman berikut.
BENTUK
LAYANAN
|
SD
|
SMP
|
SMA/SMK
|
Layanan
Dasar
|
35 – 45
%
|
25 – 35 %
|
15 – 25 %
|
Layanan
Responsif
|
30 – 40 %
|
30- 40 %
|
25 – 35 %
|
Layanan Perencanaan
Individual
|
15 – 10 %
|
15 – 25 %
|
25 – 35 %
|
Dukungan
Sistem
dan
Kolaboratif
|
10 – 15 %
|
10 – 15 %
|
15 – 20 %
|
Dengan rasio guru bimbingan dan konseling/Konselor dibanding
peserta didik =
1:150 dan dengan beban tugas 24 - 40 jam/minggu
(PP No. 74/2008 tentang Guru)
maka perhitungan ekuwivalensi tugas guru bimbingan dan konseling/ konselor 24 -40 jam
dan 150 siswa perminggu
sebagai berikut.
BENTUK LAYANAN BIMBINGAN
|
PEMBAGIAN
WAKTU PELAYANA DI SMA/SMK
24
– 40 jam kerja
|
Layanan
Dasar
|
20 % X (24
- 40 jam kerja) = 5 – 8
jam kerja
|
Layanan
Responsif
|
35 % X (24
– 40 jam kerja)
= 8 – 14 jam kerja
|
Layanan
Perencanaan
Individual
|
30 %
X (24- 40 jam
kerja) = 7 –
12
jam kerja
|
Dukungan
sistem
dan
Kolaboratif
|
15 %
X (24 -40 jam
kerja) = 4 – 6 jam kerja
|
F. PENGEMBANGAN PEDOMAN BIMBINGAN
DAN KONSELING
Rumusan kompetensi
perkembangan atau kemandirian, dan kerangka program layanan bimbingan dan konseling sudah ada
pada
buku yang disiapkan oleh ABKIN
bersama dan atas dukungan Direktorat Jenderal PMPTK, yakni Rambu- Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (ABKIN;
Ditjen PMPTK: 2008).
Untuk selanjutnya pedoman umum
tersebut perlu dikembangkan lebih
operasional berupa:
1. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar dan
Sederajat.
2. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah
Pertama dan
Sederajat.
3. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah
Atas
dan
Sederajat.
4. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah
Kejuruan dan
Sederajat.
G. PENYIAPAN
GURU
BIMBINGAN
DAN
KONSELING/KONSELOR PROFESIONAL
Kebutuhan Guru Bimbingan dan Konseling sebanyak 92.572 sebagaimana
diberitakan Harian Kompas
(Rabu, 23 Januari 2013), menghendaki penyiapan Guru
Bimbingan dan Konseling/Konselor
secara sungguh-sungguh dan
profesional. Dengan berpayung pada
UU
No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, penyiapan guru bimbingan dan konseling/konselor
profesional disiapkan di LPTK melalui pendidikan akademik S1 bidang Bimbingan dan Konseling dan Pendidikan Profesi Konselor
sebagai suatu keutuhan sebagaimana diatur dalam
Permendiknas No.
27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi
Konselor Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN.
Depdiknas RI, 2008, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan
Formal.
Ditjen PMPTK, 2007,
Rambu-rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling
dalam Jalur Pendidikan Formal.
Harian Kompas, 23 Januari
2013, “Sekolah kekurangan 92.572 Guru Bimbingan dan
Konseling.”
Peraturan Pemerintah RI, 2005,
Nomor 19 tentang
Standar
Nasional
Pendidikan.
Peraturan Pemerintah RI, 2008,
Nomor 74 tentang Guru.
Permendiknas
RI, 2008, Nomor
27 tentang Standar Kualifikasi akademik dan
Kompetensi Konselor.
Permendiknas RI, 2009,
Nomor 8 tentang Program Pendidikan Profesi
Guru Pra jabatan.
UU RI, 2003,
Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Bandung, 25 Januari
2013
Kami
yang bertanda tangan :
1. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua
Himpunan Sarjana
Bimbingan dan
Konseling Indonesia (HSBKI), unsur Himpunan Ikatan Sarjana
Pendidikan
Indonesia (ISPI)
Prof.
Furqon, M.Pd.,
MA.,
Ph.D. =
……………………………
2. Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Musyawarah Guru Bimbingan dan
|
Syamsudin, M.Pd
= ………………………
3. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua Forum Komunikasi Jurusan/Program
Studi Bimbingan
dan Konseling Indonesia
(FK- JPBKI)
Dr.
Nandang Rusmana, M.Pd. =
……………………..
4. Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Ikatan Bimbingan dan Konseling
|
5. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Sekretaris
Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling (IPSIKON),
divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
Dr.
Agus Taufiq,
M.Pd. = …………………………
No comments:
Post a Comment