Selamat Datang dan Semoga Bermanfaat,SILAHKAN ISI BUKU TAMU DAHULU YA,,, Blog Ini Untuk Menambah Wawasan Bimbingan Dan Konseling Lalu Motivasi Diri, Serta Mohon Komentar Agar Selalu Baik Dalam Menampilkanya. Email jatirinkriatmaja04@gmail.com atau 085220363757

Saturday, 30 May 2015

Teori Post Freudian Erick Erikson



A.    BIOGRAFI ARIK ERIKSON
Erik Erikson dilahirkan pada 15 Juni 1902 di Danish dekat kota Frankfurt, Jerman. Sejak lahir ia sudah tidak punya ayah karena orangtuanya telah berpisah sehingga Erik dibesarkan oleh ibunya. Mereka pindah ke Karlsruhe lalu ibunya menikah dengan dr. Homburger yang berkebangsaan Jerman, ayah kandung Erik sendiri orang Denmark. Saat itu Erik berusia 3 th dan pada awal remaja ia mengetahui bahwa nama sisipan diberikan karena Homburger adalah ayah tirinya. Erik tidak dapat menyelesaikan sekolah dengan baik karena ketertarikannya pada berbagai bidang khususnya seni dan pengetahuan bahkan ia sempat berpetualang sebagai artis dan ahli pikir di Eropa tahun 1920-1927. Identitas religius awalnya ialah Yudaisme sebagai warisan keluarga tetapi Erikson kemudian memilih Kristen Lutheran.

Pada tahun 1927 sampai tahun 1933, Erikson bergabung dengan lembaga pendidikan Psikoanalisis Sigmund Freud’s untuk mengajar anak sehingga ia berkenalan dengan psikoanalisa Frued melalui Ana Freud. Tahun 1929 Erik menikah dengan gadis Kanada, Joan Serson. Karena ketertarikannya pada dunia anak dan pendidikan, Erikson melanjutkan studi non-formal sampai akhirnya menjadi profesor dan mengajar tetap di California sejak 1939. Ia mendirikan klinik analisis anak, menekuni dunia pendidikan, serta menulis buku-buku. Erikson telah menemukan Identitas baru dengan multiragamnya, kemudian ia meninggal pada tahun 1994.
Salah satu keprihatinan terbesar dalam kehidupan Erikson adalah perkembangan identitasnya sendiri. Konsep-konsep identitas yang dikembangkan oleh Erikson didasarkan pada pengalamannya sendiri saat ia bersekolah. Ia juga mengalami saat-saat krisis di tahun awal kehidupannya. Selama masa kanak-kanak hingga masa awal dewasa ia dikenal dengan nama Homburger Erik. Kedua orang tuanya juga selalu merahasiakan tentang kelahirannya. Di sekolah, ia tidak diterima oleh anak-anak lainnya karena ia seorang Nordic. Nordic adalah anak-anak yang bertubuh tinggi, berambut pirang, dan bermata  biru. Selain itu, ia tidak diterima oleh anak-anak lain karena ia seorang Yahudi. Setelah ia lulus dari sekolah menengah, Erikson memutuskan untuk menjadi seorang seniman. Dia sempat belajar di sekolah seni dan melakukan pameran atas karya-karyanya. Namun, pada akhirnya ia meninggalkan sekolah seni dan memutuskan hidup mengembara untuk mencari identitasnya. Ia berkeliling Eropa, mengunjungi museum-museum dan hidup sebagai orang jalanan. Pertama kalinya Erikson belajar sebagai child analyst melalui tawaran Anna Freud yang merupakan anak dari Sigmund Freud untuk belajar di Vienna Psychoanalytic Institute selama kurang lebih 6 tahun. Beberapa saat kemudian ia bertemu dengan seorang guru tari dari Kanada bernama Joan Serson dan mereka pun menikah. Mereka memiliki 3 orang anak. Sejak Nazi berkuasa, ia dan istri serta anak-anaknya hidup berpindah-pindah. Mulai dari ke Copenhagen, Denmark, lalu pada akhirnya mereka hidup di Boston. Di sana ia diterima untuk mengajar di Harvard Medical School. Ia juga membuka praktik psokoanalisis yang mengkhususkan perawatan anak-anak.
Pada masa ini Erikson bertemu dengan Henry Murray dan Kurt Lewin yang keduanya adalah seorang psikolog. Ia juga bertemu dengan beberapa antropolog, yaitu Ruth Benedict, Margaret Mead, dan Gregory Beteson. Para psikolog dan antropolog ini mempengaruhi perkembangan teori Erikson. Kemudian, Erikson mengajar di Yale University. Ia melakukan studi tentang kehidupan modern suku Lakota dan Yurok. Studi inilah yang kemudian mengangkat nama Erikson.
Pada tahun 1950, ia menulis Childhood and Society yang berisi kesimpulan penelitiannya tentang penduduk asli Amerika, analisis tentang Maxim Gorky dan Adolph Hitler, dan beberapa ringkasan teori Freudian. Erikson menghabiskan waktu bekerja dan mengajar di sebuah klinik di Massacchussets selama 10 tahun dan 10 tahun kemudian ia kembali ke Harvard. Meskipun ia telah pensiun pada tahun 1970 ia tetap menulis serta melakukan penelitian bersama istrinya. Kemudian Erikson meninggal di Harwich, Amerika Serikat pada 12 Mei 1994 saat ia berusia 91 tahun.


B.     PRINSIP-PRINSIP TEORI ERIK ERIKSON
Dalam teori erik erikson ini mempunyai prinsip-prinsip dalam teorinya tersebut, dengan demikian dibawah ini adalah prinsip-prinsip teoari erik erikson
1.      Manusia mempunyai keperluan asas yang sama.
2.      Perkembangan individu bergantung kepada tindak balas terhadap keperluan-keperluan asas.
3.      Perkembangan manusia mengikut tahap-tahap yang tertentu.
4.      Setiap tahap mempunyai konflik dan konflik ini mesti diatasi sebelum individu dapat berfungsi dengan jayanya pada tahap yang berikutnya.
5.      Kegagalan mengatasi konflik pada suatu tahap akan menjejaskan perkembangan tahap yang berikutnya.

C.    TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
Pemahaman akan delapan tahapan perkembangan psikoseksual Erikson membutuhkan pemahaman terhadap beberapa poin penting. Pertama, pertumbuhan terjadi berdasarkan prinsip epigenetik. Yaitu, satu bagian komponen yang tumbuh dari komponen lain dan memiliki pengaruh waktu tersendiri, namun tidak menggantikan komponen sebelumnya. Kedua, di dalam tiap tahapan kehidupan terdapat interaksi berlawanan yaitu konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan elemen distonik (mengacaukan). Contohnya. selama masa bayi, rasa percaya dasar atau basic trust (kecenderungan sintonik) berlawanan dengan rasa tidak percaya dasar atau basic mistrust (kecenderungan distonik). Akan tetapi, baik rasa percaya maupun tidak percaya dibutuhkan untuk adaptasi yang benar. Seorang bayi yang hanya belajar untuk memercayai akan mudah tertipu dan tidak siap untuk kenyataan yang harus dihadapi perkembangan selanjutnya. sedangkan bayi yang hanya belajar untuk tidak percaya menjadi terlalu mencurigai dan sinis. Sama halnya, selama tiap tujuh tahapan lainnya, manusia harus memiliki pengalaman harmonis dan mengacaukan.
Ketiga, di tiap tahapan, konflik antara elemen distonik dan sintonik menghasilkan kualitas ego dan kekuatan ego, yang Erikson sebut sebagai kekuatan dasar (bask strtngth). Contohnya, dari antitesis antara rasa percaya dan tidak percaya muncul harapan, kualitas ego yang memungkinkan bayi untuk bergerak ke tahapan selanjutnya. Begitu juga halnya, tiap tahapan ditandai dengan kekuatan ego dasar yang muncul dari benturan elemen-elemen harmonis dan mengacaukan di tahapan itu.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu : (1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas. (2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.
Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar. Di mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
1.      Masa Bayi
Masa bayi adalah masa pembentukan, dimana bayi “menerima” bukan hanya melalui mulut, namun juga melalui organ indra yang lain. Sebagaimana mereka menerima makanan dan    informasi sensori, bayi belajar untuk memercayai ataupu tidak memercayai dunia luar, keadaan yang memberikan harapan tidak nyata.


a.      Gaya Sensori Oral
Tahapan ini ditandai oleh dua gaya pembentukan – memperoleh dan menerima apa yang diberikan.Bayi dapat memperoleh walaupun tanpa keberadaan orang lain. Mereka dapat memperoleh udara melalui paru-paru. Akan tetapi, gaya pembentukan yang kedua menyiratkan konteks sosisal. Untuk membuat orang lain memberi, mereka harus belajar untuk memercayai atau tidak memercayai orang lain.Hal ini membangun krisis psikososial dasar yaitu Trust vs Mistrust.
b.      Trust Versus Mistrust (Rasa Percaya Dasar Vs Tidak Percaya Dasar)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.
c.       Harapan (Kekuatan Dasar Bayi)
Harapan  muncul dari konflik antara rasa percaya dan rasa tidak percaya. Jika bayi mengalami pengalaman yang tidak enak, bayi belajar untuk berharap bahwa gangguan mereka di masa depan akan diakhiri oleh hasil yang memuaskan.
Apabila bayi tidak mengembangkan harapan yang cukup pada masa ini, maka mereka akan menampilkan lawan dari harapan penarikan diri. Dengan hanya sedikit harapan, mereka akan menarik diri dari dunia luar dan memulai perjalanan menuju gangguan psikologis yang serius.

2.      Masa Kanak-Kanak Awal
Tahapan psikososial kedua adalah kanak-kanak awal, periode yang pararel dengan tahap anal Freud berpendapat bahwa anus sebagai zona yang paling memberikan kepuasan seksual bila tersentuh (erogeneous) selama periode ini dan selama fase anak-sadsitis awal, anak-anak mendapat kesenangan dengan menghancurkan atau menghilangkan obyek dan nantinya mereka mendapat kesenangan dengan buang air besar.
Erickson berpandangan lebih luas. Baginya, anak-anak mendapat kesenangan bukan hanya karena menguasai otot sirkular yang dapat  berkotraksi, tetapi juga menguasai fungsi tubuh lainnya, seperti buang air kecil, jalan, memegang, dan seterusnya.
a.      Gaya Otot Uretral Anal
Pada masa ini, anak belajar untuk mengendalikan tubuh mereka, khusunya berkaitan dengan kebersihan dan pergerakan. Masa kanak-kanak awal tidak hanya belajar toilet training tetapi juga belajar berjalan, berpegangan dengan mainan, dan lain-lain.Mereka senang menahan feses mereka , mereka jugan senang mengumpulkan barang dan tiba-tiba menghancurkannya.
Kanak-kanak awal adalah masanya kontradiksi , masa pemberontakan yang bersikeras dan kepatuhan yang lembut, masa pengungkapan diri yang impulsif dan penyimpangan yang kompulsif.
b.      Otonomi Versus Perasaan Malu Dan Ragu-Ragu
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain. Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
c.       Keinginan (Kekuatan Dasar Kanak-Kanak Awal)
Kekuatan dasar akan keinginan dan kemauan berkemabang dari resolusi krisis otonomi vs rasa malu dan ragu. Kekuatan keinginan yang matang dan ukuran signifikan kehendak bebas tertahan hingga tahapan perkembangan selanjutnya, namun mereka berasal dari keinginan awal yang timbul pada masa kanak-kanak awal.
Anak-anak hanya akan berkembang jika lingkungan mereka membiarkan mereka memilki pengungkapan diri dalam kendali otot sphincter dan otot lain-lain. Ketika pengalaman mereka mengakibatkan rasa malu dan ragu yang terlalu besar, anak-anak tidak mampu mengembangkan kekuatan dasar ini.

3.      Usia Bermain
Tahap perkembangan ketiga erikson adalah usia bermain, periode yang meiliputi waktu yang sama dengan fase falik (phallic) sekitar usia 3-5 tahun. Sekali lagi perbedaan timbul antara pandangan freud dan erikson. Sementara menempatkan Oidipus Complex sebagai inti dari fase alat kelamin, erikson percaya bahwa Oedipus Complex hanya salah satu perkembangan penting selama usia bermain. Erikson (1982) menyatakan bahwa selain mengidentifikasi diri dengan orang tua mereka, anak-anak usia prasekolah mengembangkan daya gerak, keterampilan berbicara, keingintahuaan, imajinasi, dan kemampuan untuk menentukan tujuan
a.      Gaya Lokomotor Genital
Erikson melihat situasi Oedipal sebagai prototipe “kekuatan seumur hidup akan keriangan manusia”. Dengan kata lain, Oedipus conplex adalah drama yang dimainkan dalam imajinasi anak-anak mencakup pengertian yang dimulai meningkat akan konsep dasar, seperti reprodusi, pertumbuhan, masa depan, dan kematian.
Ketertarikan anak-anak usia bermain akan aktivitas genital diiringi dengan meningkatnya sarana daya gerak mereka. Mereka sekarang dengan mudahnya bergerak, berlari, melompat dan permainan mereka menunjukkan inisiatif serta imajinatif.
b.      Inisiatif Versus Rasa Bersalah
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidak pedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
c.       Tujuan (Kekuatan Dasar Usia Bermain)
Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan, bersaing dalam permainan dengan tujuan menang atau mencapai puncak. Mereka menentukan sasaran dan mengejar sasaran itu dengan tujuan. Usia bermain juga merupakan tahpan dimana anak-anak mengembangkan hati nurani dan mulai meletakkan benar dan salah pada tingkah laku mereka. Hati nurani di masa muda ini menjadi landasan akan moralitas.

4.      Usia Sekolah
Konsep usia sekolah erikson meliputi perkembangan dari usia 6 tahun hingga sekitar usia 12-13 tahun dan cocok dengan tahun-tahun masa laten dalam teori freud. Pada usia ini, dunia sosial anak-anak meluas diluar keluarga, mencakup kelompok teman, guru, dan panutan dewasa lainnya. Untuk anak usia sekolah, keinginan mereka untuk mengetahui sesuatu menjadi lebih kuat dan terkait dengan usaha dasar dan kompetensi. Pada perkembangan normal, anak-anak berusaha dengan rajin untuk membaca dan menulis, berburu dan memancing, atau untuk mempelajari keterampilan yang di butuhkan oleh kultur mereka. Usia sekolah tidak harus berarti sekolah formal. Dalam budaya pandai baca tulis kontenpoler, sekolah dan guru profesional memainkan peranan utama dalam pendidikan anak, sedangkan pada masyrakat yang belum bisa baca tulis, orang dewasa menggunakan metode efektif yang kurang formal, namun efektif untuk mengajarkan anak-anak mereka mengenai masyarakat.


a.      Latensi
Latensi seksual penting karena memungkinkan anak-anak mengalihkan energi mereka untuk mempelajari teknologi kultur mereka dan startegi akan interksi sosial mereka.
b.      Kerajinan Versus Inferioritas
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
c.       Kompetensi (Kekuatan Dasar Usia Sekolah)
Kekuatan dasar kompetensi adalah rasa percaya diri untuk menggunakan kemampuan fisik dan kognitif dalam menyelesaikan masalah yang mengiringi usia sekolah. Kompetensi diberikan landasan untuk partisipasi kooperatif dalam kehidupan dewasa yang produktif.

5.      Remaja
Periode Remaja dari pubertas hingga masa dewasa muda, merupakan salah satu tahapan perkembangan yang paling krusial karena akhir periode ini, seseorang harus sudah mendapatkan rasa ego identitas yang tetap. Walaupun ego identitas dimuali maupun di akhiri selama remaja, krisis antara identitas dan kebingungan identitas mencapai puncaknya selama tahap ini. Dari krisis antara identitas versus kebingungan identitas timbul kesetiaan, kekuatan dasar masa remaja.
a.      Pubertas
      Pubertas (puberty) adalah tahap kemasakan seksual. Menurut Erikson penting karena pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa yang akan datang.
b.      Identitas Versus Kekacauan Identitas
      Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya.
      Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.
      Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
      Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
c.       Kesetiaan (Kekuatan Dasar Remaja)
      Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada tahap adolensen adalah kesetiaan (fidelity). Sisi patologis dari kesetiaan adalah penolakan (repudiation), menjadi bentuk yang malu-malu (diffedence) atau penyimpangan (deviance). Difiden adalah keadaan ekstrim tidak percaya diri, sementara devian adalah memberontak kepada otoritas secara terbuka.

6.      Dewasa Muda
Tugas pada tahap dewasa awal hanya sesudah orang mengembangkan perasaan yang mantap siapa dan apa yang diinginkannya maka mereka dapat mengembangkan tingkat kebaikan cinta (love). Tahap ini ditandai dengan perolehan keintiman (intimacy) pada awal periode dan perkembangan berketurunan (generativity) pada akhir periode.
a.      Genitalitas
Banyak dari aktivitas seksual selama masa remaja adalah ungkapan pencariaan akan identitas dan pada dasarnya harus disediakan oleh diri sendiri. Genetalitas sejati dapat berkembang hanya selama dewasa muda ketika ia dibedakan dengan rasa percaya yang sama dan berbagi secara stabil kepuasaan seksual dengan seseorang yang dicintai. Ia merupakan pencapaian utama psikoseksual terhadapa masa dewasa muda dan hanya di dapati dalam hubungan intim.
Disebut perkelaminan (genitality). Aktivitas seksual selama tahap adolensen adalah ekspresi pencarian identitas yang biasanya dipuaskan sendiri. Ditandai dengan saling percaya dan berbagi kepuasan seksual secara permanen dengan orang yang dicintai.
b.      Keintiman Versus Keterasiangan
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
c.       Cinta (Kekuatan Dasar Dewasa Muda)
Cinta adalah kesetiaan yang masak sebagai dampak dari perbedaan dasar antara pria dan wanita. Kebalikan dari cinta adalah kesendirian (exclusivity). Sedikit ekslusif dibutuhkan dalam intumasi, yakni bahwa orang harus bisa menolak orang tertentu, untuk mengembangkan perasaan identitas diri yang kuat. Kesendirian menjadi patologis kalau kekuatannya sampai menghalangi kemampuan kerja sama.
Lawan dari cinta adalah ekskluasivitas, inti patalogi padadewasa muda. Bebrapa ekskluasivitas, bagaimanapun juga, diperlukan untuk keintiman. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk mencegah ide, aktivitas, atau orang tertentu demi mengembangkan kepekaannya kepada identitas. Ekskluasivitas menjadi patologi ketika ia menghambat kemampuan seseorang dalam bekerja sama, bersaing, atau berkompromi semua hal yang mendasari keintiman dan cinta.

7.      Dewasa
Masa dewasa yaitu masa deimana manusia mulai mengambil bagian dalam masyarakat dan menerima tanggung jawab dari apapun yang di berikan oleh masyarakat. Untuk sebagaian besar orang, dewasa muda adalah tahapan perkembangan yang paling lama, menghabiskan waktu dari usia 31-60 tahun. Masa dewasa ditandai oleh gaya psikoseksual prokreativitas, krisis psikososial generativitasversus stagnasi, dan kekuatan dasar rasa peduli.
a.      Prokreativitas
Teori psikoseksual erikson beransumsi bahwa doronghan insting mempertahankan spesies, dorongan ini adalah lawan dari insting binatang orang dewasa terhadap prokreasi dan merupakan perpanjangan dari genitalitas yang menandai masa dewasa muda. Akan tetapi prokreativitas tak sekedar mengacu pada kontak genital dengan oasangan intim. Ia juga mencakup tanggung jawab untuk mengasuh keturunan yang merupakan hasil kontak seksual. Idealnya prokreasi datang dari keintimanyang matang dan cinta stabil selama tahapan sebelumny. Kenyataannya, manusia mampu secara fisik untuk menghasilkan keturunan sebelum mereka siap secara psikologis untuk memikirkan kesejahteraaan anak-anak mereka.
Dewasa yang matang menuntut lebih dari prokreasi keturunan. Ia juga mencakup merawat anak-anak sendiri dan juga anak-anak orang lain. Selain itu, ia juga meliputi bekerja secara produktif untuk menyamapaikan kultur dari satu generasi ke generasi lain.
b.      Generativitas Versus Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun. Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
c.       Rasa Peduli (Kekuatan Dasar Dewasa)
Keperdulian (care) adalah perluasan suatu komitmen untuk merawat orang lain. Care bukan suatu tugas atau kewajiban, tetapi keinginan yang muncul serta alami dari konflik antara generativita dengan stagnasi. Lawan dari keperdulian adalah penolakan (rejectivity), yang diwujudkan dalam bentuk mementingkan diri sendiri, atau pseudospeciation, yakni keyakinan bahwa orang atau kelompok lain adalah jenis manusia yang lebih inferior dibanding diri/kelompoknya.

8.      Usia Lanjut
Erikson berusia 40 tahun ketika ia pertama kali memikirkan konsep tahapan ini dan semena-mena mendevisinikan usia lanjut sebagai periode usia 60 tahun sampai akhir kehidupan. Usia lanjut bukan berarti seseorang sudah tak lagi menghasilkan (generative). Prokreasi, dalam artian sempit menghasilkan anak, mungkin sudah tak lagi, namun orang dalam usia lanjut tetap bisa produktif dan kreatif dalam banyak cara lain. Mereka dapat menjadi kakek nenek yang merawat cucu-cucu mereka juga anggota masyarakat lain yang lebih muda. Usia lanjut dapat menjadi masa akan kesenangan, kerianganm dan bertanya-tanya, namun juga masa akan kepikunana,depresi, dan keputus asaan. Gaya psikoseksual usia lanjut adalah sensualitas tergenerilasikan, krisis psikososial integritas versus keputus asaan, dan kekuatan dasar kebijaksanaan.
a.      Sensualitas Tergeneraslisasi
Tahap terakhir dati psikoseksual adalah generalisasi sensualitas (Generalized Sensuality): memperoleh kenikmatan dari berbagai sensasi fisik,penglihatan, pendengaran, kecapan, bau, pelukan dan bisa juga stimulasi genital.
b.      Integritas Versus Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
c.       Kebijaksanaan (Kkekuatan Usia Lanjut)
Orang dengan kebijaksanaan yang matang, tetap mempertahankan integritasnya ketika kemampuan fisik dan mentalnya menurun. Antitesis dari kebijaksanaan adalah penghinaan (disdain). Penghinaan merupakan kelanjutan dari penolakan, sumber patologi dari fase dewasa
Berikut ini tabel delapan tahapan perkembangan psikososial Erikson.
Perkiraan Umur (Approximate Ages)
Tahapan Psikoseksual
Krisis Psikososial
Kekuatan Dasar
0-1 thn (Infancy)
Oral-sensoris
Trust Vs Mistrust
Harapan
1-3 thn (Masa kanak-kanak awal
Muscular Anal
Autonomy Vs Shame and Doubt
Kemauan
3-6 thn (Usia Bermain)
Infantile Genital Locomotor
Initative Vs Guilty
Tujuan
6-12 thn (Usia sekolah)
Latency
Industry Vs Inferiority
Kompeten
12-20 thn (Adolescence)
Puberty
Identity Vs Identity Confussion
Kesetiaan
20-30 thn (Dewasa Dini)
Genitality
Intimacy Vs Isolation
Cinta
30-65 thn (Dewasa)

Generativity Vs Stagnation
Kepedulian
65­+ thn (Usia lanjut)

Integrity Vs Despair
Kebijaksanaan

D.    METODE PENELITIAN ERIKSON
Metode utama pada penelitian Erickson adalah studi kasus. Kelemahan-kelemahan dari studi kasus ini adalah susah untuk di dupikasikan dan membuktikan kasus penting, Namun selain kelemahan-kelemahan tersebut studi kasus mempunyai berbagai informasi penting yang di dapatkan melalui teknik ini. Erickson juga membuktikan bahwa dari sejarah studi kasus menghasilkan bebarapa pemahaman tentang perkembangan personality yang dapat memecahkan permasalahan pasien.
Erickson melakukan penelitian berdasarkan beberapa aspek dari teorinya melalui terapi yang dia sebut sebagai play construction. Play construction merupakan teknik untuk mengukur personality anak, yang dianalsia melalui bagaimana anak tersebut berinteraksi dengan mainan yang diberikan kepadanya. Erickson yang menganut beberapa teori Freud, menggambarkan play construction ini dengan metode psikoanalisa. Ercikson kurang setuju dengan beberapa pandangan tersebut, yakni wanita merupakan korban dari anatomi mereka yang menyebabkan personality mereka dipengaruhi oleh ketidakaadanya penis. Erikson mengakui bahwa perbedaan dalam play construction juga disebabkan karena perbedaan gender dalam mentraining, dimana pada anak laki-laki lebih diorientasikan kepada sikap yang lebih keras, agresifitas dan pencapaian sesuatu dari pada anak perempuan. Ternyata dari beberapa kasus yang dilakukan pada anak umur 2 dan 5 tahun, hasilnya tidak seperti yang dikemukakan oleh Erickson.
Peneliti lain telah menaruh perhatian kepada test tahap perkembangan pada psikososial. Penelitian ini diuji pada anak-anak usia 4,8, dan 11. Anak-anak tersebut disuruh untuk membuat cerita berdasarkan gambar yang dilihat mereka.dari cerita ini. Peneliti menganalisa cerita yang disimpulkan anak tersebut dan mengambiul kesimpulan pada tahap psikososial manakah anak tersebut sekarang.
Analisis psikohistorikal melalui diari, surat dan novel dari seorang penulis wanita mulai dari umur 21 tahun menunjukkan bahwa adanya kepedulian terhadap identitas, perubahan, dan kepedulian terhadap keakraban dengan sesama dan produktifitas. Perubahan-perubahan tersebut termasuk dalam teori perkembangan Erickson.
Dengan menggunakan skala Ego-Identity, peneliti mencoba teori Erikson apakah baik atau kurang baik dalam mengidentifikasi orangtua yang bergender sama dapat mengganggu ego identity remaja. Hasil yang diperoleh melalui skala ego-identity dengan tes identifikasi maternal menunjukkan adanya hubungan antara kelompok mahasiswi  tingkat pertama dan mahasiswi tingkat kedua. Hal tersebut mendukung perkiraan Erickson, dari tes tersebut juga ditemukan bahwa mahasiswi yang kesulitan dalam mengatasi permasalahan / ego-identitinya cenderung akan memiliki permasalahan seperti kecanduan alcohol.
Penelitian lain menunjukkan bahwa hubungan keluarga yang aman pada masa remaja terpesona pengembangan identitas diri. ditemukan bahwa kehangatan orangtua dan otonomi adalah prediktor dari lingkungan keluarga yang stabil, yang, pada gilirannya, mempromosikan pengembangan identitas.(Kamptner, 1998).
Psikolog menguji keyakinan erikson, yaitu hasil positif dalam menyelesaikan krisis identitas terkait dengan hasil positif pada tahap perkembangan sebelumnya. (Waterman, Buebel, & Waterman, 1970). Program penelitian yang luas pada tahap perkembangan remaja mengidentifikasi lima jenis psikologis, atau status, untuk periodenya (Marcia, 1966, 1980): mengidentifikasi prestasi, penundaan, penyitaan prestasi, difusi identitas, dan terasing. Mengidentifikasi prestasi menggambarkan remaja yang berkomitmen untuk pilihan kerja dan ideologis dan yang telah mengembangkan identitas ego yang kuat.
Penundaan, kedudukan kedua dalam perkembangan remaja menjelaskan remaja yang masih menjalani krisis identitas mereka. Pekerjaan dan ideologi mereka masih samar-samar. Perilaku mereka berkisar dari ragu-ragu dan akhirnya bertindak dan berkreasi. (Bluestin,Devenis, & Kidney, 1989; Podd, Marcia & Rubin, 1968). Penyitaan, menjelaskan remaja yang belum mengalami krisis identitas, tapi remaja yang dengan tegas berkomitmen dengan sebuah pekerjaan dan ideologi. Remaja ini cenderung kaku dan otoriter dan mengalami kesulitan dalam perubahan situasi (Marcia, 1967). Tahap kelima, pengasingan prestasi, menjelaskan remaja yang telah mengalami krisis identitas, tidak punya komitmen kerja, dan memeluk ideologi yang mengecam sistem ekonomi dan politik (Marcia & Friedman, 1970; Orlofsky, Marcia & Lesser, 1973). Empat dari kedudukan ini, dalam kedudukan sebagai berikut. Penyamaran identitas, penyitaan, penundaan, dan pencapaian identitas, menggambarkan resolusi kesuksesan dari masalah identitas. Dalam masa kognitif dan emosi,pencapaian prestasi dan tipe penundaan berfungsi lebih baik daripada penyitaan dan penyamaran identitas. Menerapkan teknik Alfred Alder dari ingatan awal, seorang psikolog menemukan bahwa wanita di perguruan tinggi diidentifikasi dalam status penundaan menunjukkan ego dan struktur karakter yang lebih kuat dibandingkan dalam status penyitaan.
Beberapa peneliti kepribadian berfokus pada pertanyaan, kapan krisis identitas muncul. Erikson menunjukkan bahwa itu dimulai saat masa remaja selesai, dengan satu cara atau lainnya,  kira-kira pada umur 18 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa krisis identitas tidak akan mucul sampai tingkat remaja akhir. Dalam suatu kasus, sampai dengan 30%  subyek mencari identitas dirinya sampai umur 24 tahun (Archer, 1982).
1.      Studi Antropologis
            Pada tahun 1937, Erikson melakukan darmawisata ke Indian Pine Ridge Réservation di South Dakota untuk menyelidiki penyebab apatis di kalangan anak-anak Sioux. Erikson (1963) melaporkan pelatihan awal Sioux dari sudut pandang teori psikoseksual yang baru berkembang dan perkembangan psikososial Ia mendapati bahwa apatis adalah ungkapan ketergantungan ekstrem bangsa Sioux yang telah berkembang sebagai hasil rasa percaya. Mereka pada program pemerintah federal yang beragam. Di masa lalu, mereka merupakan pemburu banteng yang pemberani. Akan tetapi, pada tahun 1937, bangsa Sioux telah kehilangan identitas kelompok mereka sebagai pemburu dan mencoba setengah hati untuk hidup sebagai petani Praktik pengasuhan anak yang di masa lalu adalah melatih anak laki-laki menjadi pemburu dan anak perempuan untuk membantu serta menjadi ibu bagi pemburu di masa mendatang» tidak lagi cocok dengan masyarakat pertanian. Akibatnya, pada tahun 1917, anak-anak Sioux mengalami kesulitan untuk mencapai rasa ego identitas, terutama ketika mencapai usia remaja.
            Dua tahun kemudian, Brikson melakukan darmawisata yang sama ke Northern California untuk mempelajari bangsa Yurok, yang hidup terutama dari memancing salmon. Walaupun bangsa Sioux dan Yurok memiliki budaya yang sangat hias ragamnya, tiap suku memiliki tradisi pelatihan anak-anak muda mereka yang menjadi kekuatan masyarakat tersebut Bangsa Yurok terlatih untuk menangkap ikan, deh karena itu tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan tidak menyukai peperangan. Mendapatkan dan mempertahankan perlengkapan serta kepemilikan. dinilai tinggi oleh orang-orang Yurok. Erikson (1963) dapat menunjukkan bahwa pelatihan di kanak-kanak awal konsisten dengan nilai kultur yang kuat dan bahwa sejarah dan masyarakat membantu terbentuknya kepribadian.
2.      Psikohistoris
Disiplin ilmu yang disebut psikohistoris merupakan bidang kontroversial yang memadukan konsep psikoanalisis dengan metode sejarah. Freud (1910/1957) menghasilkan psikohistoris bersamaan dengan investigasi terhadap Leonardo da Vinci dan nantinya berkolaborasi dengan duta Amerika.VVdham Bullit untuk menulis studi psikologis mengenai presiden Amerika, Woodiw Wttson (Freud & Bullit, 1967). Walaupun Erikson (1975) beranggapan buruk mengenai studi itu. ia menggunakan metode psikohistoris tersebut dan memperbaikinya, terutama dalam studinya mengenai Martin Luther (Erikson, 1958, 1975) dan Mahatma Gandhi (Erikson, 1969.1975). Luther dan Gandhi memiliki dampak sejarah yang penting karena mereka adalah orang-orang luar biasa dengan konflik hak asasi pribadi selama periode sejarah yang membutuhkan penyelesaian kolektif akan apa yang tidak dapat diselesaikan secara individual (E Hall, 1983).
Erikson 11974) mendefinisikan psikohistoria sebagai "studi individual dan kehidupan kolektif dengan metode yang memadukan psikoanalisis dan sejarah. la menggunakan psikohistoris untuk menunjukkan keyakinan utamanya bahwa setiap orang adalah hasil  dari masa sejarahnya dan bahwa masa sejarah dipengaruhi oleh pemimpin luar biasa yang mengalami  konflik identitas pribadi sebagai pengarang  psikohistoris, Erikson percaya bahwa ia harus terlibat secara emosional dengan subjek . Contohnya, ia mengembangkan keterikatan emosional yang kuat dengan  Gandhi,  yang ia hubungkan dengan pencarian seumur hidup akan ayahnya yang yang tidak pernah temui.Erikson  menunjukan perasaan positif yang kuat terhadap Gandhi lebagajmana ia berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana individu yang sehat, seperti Gandhi dapat melalui konflik dan krisis ketika  orang-orang lain dilemahkan oleh kurangnya perjuangan.

E.     PENELITIAN TERKAIT
Satu kontribusi utama Erikson adalah memperluas perkembangan kepribadian hingga dewasa. Dengan mengembangkan pernyataan perkembangan Freud hingga usia lanjut Erikson menantang gagasan bahwa perkembangan psikologis berhenti sampai pada masa kanak-kanak. Peninggalan Erikson yang paling berpengaruh adalah teori perkembangannya dan, khususnya, tahapan remaja sampai usia lanjut Ia salah satu teoretikus pertama yang menekankan periode kritis pada masa remaja dan konflik-konflik seputar pencarian seseorang akan identitas» Remaja dan dewasa muda sering bertanya: Siapa saya? Kemana •aya akan pergi? Dan apa yang ingin saya lakukan sepanjang sisa hidup saya? Bagaimana mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memainkan peranan penting terhadap hubungan seperti apa yang akan mereka kembangkan, siapa yang akan mereka nikahi dan jalur karier apa yang akan mereka ikuti.
Berlawanan dengan teoretikus psikodinamika lainnya, Erikson memicu cukup banyak penelitian empiris» terutama pada remaja, dewasa muda, dan dewasa. Di sini kita akan membahas penelitian akhir-akhir ini mengenai perkembangan dewasa pertengahan, khususnyatahapan generativitas.
1.      Generativitas Dan Parenting
Erikson (1982) mendefinisikan generativitas sebagai "generasi akan manusia baru sebagaimana produk dan gagasan baru" (him. 67). Generativitas (hal-hal menghasilkan) secara khas tidak hanya diungkapkan dengan membesarkan anak dan mengasuh pertumbuhan pada anak-anak muda, tetapi juga dengan mengajar, membimbing, menciptakan, dan aktivitas pembacaan cerita yang membawa pengetahuan baru dalam keberadaan dan menyampaikan pengetahuan lama kepada generasi berikutnya. Dan McAdams dan koleganya (McAdams, 1999; McAdams & de St. Aubin, 1992, Bauer & McAdams, 2004b) telah menjadi figur utama dalam penelitian mengenai generativitas dan mengembangkan Skala Generativitas Loyola (Loyola Generativity Scale LGS) untuk mengukurnya. LGS mencakup butir-butir, seperti "Saya memiliki keterampilan penting yang saya coba ajarkan pada orang lai" dan "Saya tidak bekerja secara sukarela antuk sebuah acara amal". Skala ini mengukur beberapa aspek dalam generativitas, termasuk kepedulian terhadap generasi berikutnya; menciptakan dan mempertahankan objek dan hal lainnya; serta narasi seseorang. yaitu cerita atau tema subjektif yang orang dewasa ciptakan untuk menyediakan sesuatu bagi generasi selanjutnya.
Menggunakan skala LGS, para peneliti telah menyelidiki dampak generativitas orang tua pada perkembangan anak» Secara teori, orang tua yang memilikj rasa generativitas yang tinggi seharusnya memberikan usaha dan rasa peduli yang besar dalam membesarkan anak sehingga menghasilkan keturunan yang baik dan bahagia. BU) Petersoo menguji gagasan ini dengan studi terhadap mahasiswa dan orang tua mereka (Peterson, 2006). Frterson memprediksikan bahwa anak-anak dengan orang tua yang generatif tidak hanya akan lebih bahagia, namun juga memiliki sudut pandang masa depan, yaitu suatu cara untuk menjelaskan bahwa anak-anak dengan orang tua generatif akan memandang jauh ke depan dan dengan itu memandang optimis hal-hal yang akan datang Untuk menguji prediksi ini, orang tua diminta melengkapi LGS dan mahasiswa melengkapi pengukuran kesejahteraan yang mencakup butir-butir mengenai kebahagiaan secara keseluruhan, rasa kebebasan, dan keyakinan terhadap diri sendiri Mahasiswa juga melengkapi pengukuran pandangan masa depan di mana mereka memberikan urutan peringkat mengenai seberapa besar merdu memikirkan tantang hari berikutnya» bulan berikutnya, tahun berikutnya, dan sepuluh tahun dari sekaran
2.      Generativitas Versus Stagnasi
Seperti semua tahapan, mm dewasa terdiri dari dua konflik interaktif, yaitu generativitas dan stagnasi. Erikson setara umum menganggap stagnasi dan generativitas sebagai ujung berlawanan dari kontinum yang sama. Dengan kata lain. seseorang yang memiliki generativitas tinggi akan memiliki stagnasi yang rendah dan juga sebaliknya. Akan tetapi, akhir akhir ini. para peneliti mulai mempertanyakan seberapa berlawanannya dua aspek perkembangan masa dewasa ini dan telah melakukan eksplorasi stagnasi serta generativitas sebagai konstruk yang mandiri (Van Hiel, Mervielde, & De Fruyt, 2006). Satu alasan untuk pertukaran dari model Erikson ini, yaitu adanya kemungkinan bahwa manusia menjadi generatif dan stagnan. Situasi seperti ini mungkin terjadi ketika seseorang ingin menjadi generatif dan mengerti pentingnya menjadi generatif, namun karena apapun alasannya, tidak bisa mengatasi keterlibatan dirinya sendiri la mungkin menyadari bahwa generativitas adalah tahapan selanjutnya dalam perkembangan, namun tidak bisa mencapainya.

F.     KRITIK TERHADAP TEORI
Erikson membangun teorinya sebagian besar berdasarkan prinsip etika dan bukan data ilmiah. Ia mendatangi psikologi dari sudut pandang seni dan menyadari bahwa ia melihat dunia lebih dari mata seorang seniman daripada mata seorang ilmuwan. Ia pernah menulis bahwa ia tidak memiliki apapun untuk diberikan kecuali "sebuah cara untuk melihat sesuatu" (Erikson, 1963, hlm. 403). Buku-bukunya memang subjektif dan personal, yang tak diragukan menambah daya tariknya. Bagaimanapun, teori Erikson harus dinilai dengan standar ilmu pengetahuan, bukan etika atau seni.
Kriteria pertama dari teori yang berguna adalah kemampuannya untuk menghasilkan penelitian dan dengan standar ini, kami menilai teori Erikson lebih tinggi dari rata-rata. Contohnya, topik ego identitas sendiri telah menghasilkan beberapa ratus studi dan aspek-aspek lain dalam tahapan perkembangan Erikson, seperti keintiman versus keterasingan (Gold & Rogers, 1995), generativitas (Arnett, 2000; Pratt, Norris, Arnold, & Filyer, 1999), dan seluruh siklus kehidupan (Whitbourrie, Zuschlag, Elliot, & Waterman, 1992) telah memicu penyelidikan empiris aktif.
Terlepas dari penelitian aktif ini, kami hanya memberikan teori Erikson nilai rata-rata untuk kriteria dapat dibenarkan. Banyak penemuan dalam badan penelitian ini dapat dijelaskan dengan teori-teori selain teori tahapan perkembangan Erikson.
Dalam kemampuannya mengorganisasi pengetahuan, teori Erikson sebagian besar terbatas hanya pada tahapan perkembangan. Teorinya tidak mampu mengarahkan persoalan, seperti sifat pribadi atau motivasi dan keterbatasan yang datang dari kurangnya kemampuan teori untuk mencari makna akan apa yang diketahui mengenai kepribadian manusia. Kedelapan tahapan perkembangan mempertahankan pernyataan akan bagaimana siklus kehidupan seharusnya dan penemuan penelitian di area ini biasanya cocok dengan kerangka aliran Erikson. Akan tetapi, teorinya kurang memiliki lingkup yang cukup untuk dinilai tinggi dalam kriteria ini.
Sebagai panduan untuk bertindak, teori Erikson memberikan banyak bimbingan umum, namun sedikit memberikan masukan spesifik. Dibandingkan dengan teori-teori lain yang dibahas dalam buku ini, teorinya memiliki nilai cukup tinggi dalam memberikan pendekatan untuk berhadapan dengan masa pertengahan dan dewasa tua. Pandangan.
Erikson akan penuaan telah membantu orang-orang yang bekerja di bidang gerontologi, dan gagasannya akan ego identitas hampir selalu dikutip di buku teks psikologi remaja. Selain itu, konsepnya akan keintiman versus keterasingan dan generativitas versus stagnasi sangat berguna bagi penasihat perkawinan dan yang lainnya yang peduli akan hubungan intim di kalangan dewasa muda.
Kami memberi nilai tinggi untuk konsistensi internal, sebagian besar karena istilah-istilah yang digunakan untuk menamai krisis psikososial, kekuatan dasar, dan patologi inti yang berbeda-beda dipilih dengan sangat saksama. Bahasa Inggris bukan bahasa pertama Erikson, dan penggunaan ekstensif akan kamus selama menulis meningkatkan presisi terminologinya. Akan tetapi, konsep seperti harapan, kemauan, tujuan, rasa peduli, dan seterusnya tidak didefinisikan secara operasional. Mereka memiliki kegunaan ilmiah yang sedikit walaupun menempati peringkat tinggi dalam bahasa dan nilai emosional. Di sisi lain, prinsip epigenetik dan kefasihannya dalam deskripsi mengenai delapan tahapan perkembangan menandakan bahwa teorinya memiliki konsistensi internal yang luar biasa.
Pada kriteria kesederhanaan, atau kecermatan kami memberi nilai sedang (rata-rata) pada teorinya. Ketepatan istilahnya merupakan kekuatan, namun deskripsi mengenai tahapan psikoseksual dan krisis psikososial, terutama di tahapan-tahapan akhir, tidak selalu dibedakan dengan jelas. Selain itu, Erikson menggunakan istilah berbeda-beda dan bahkan konsep berbeda-beda untuk mengisi 64 kotak yang sebagian besar kosong di Figur 92. Ketidakkonsistenan itu dapat mengurangi kesederhanaan teori.

Daftar Referensi
Alwisol.2009.Psikologi Kepribadian.Malang : UMM Press.
Feist , Jess & Gregory .J.Fiest.2013.Teori Kepribadian.Jakarta : Salemba Humanika
Hall Calvin S dan Gardner Lindzey.1993. Psikologi Kepribadian 1. Editor Dr. A. Supratiknya.Yogyakarta. Kanisius.

3 comments:

  1. Agen Casino | Play at Santa Anita | Santa Anita Casino
    Play at Santa Anita Casino - a San santinbatdongsan.com Diego Casino. If you are looking 램 슬롯 for the best 유흥 후기 gaming experience in the San Diego area, 바카라 웹 사이트 we 룰렛 돌리기 are your one stop shop.

    ReplyDelete
  2. Metode penelitian Erik Erikson dalam konteks post-Freudian berfokus pada pengembangan psikososial individu sepanjang hayat. Erikson mengembangkan teori delapan tahap perkembangan yang menekankan interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Metode yang digunakannya meliputi:

    1. Kualitatif: Menggunakan wawancara mendalam dan studi kasus untuk memahami pengalaman subjektif individu.


    2. Observasi: Mengamati perilaku individu dalam konteks sosial untuk mengidentifikasi fase perkembangan yang sedang dialami.


    3. Analisis naratif: Menggali cerita hidup individu untuk melihat bagaimana mereka menghadapi konflik dan resolusi di setiap tahap perkembangan.



    Erikson juga memperhatikan konteks budaya dan sejarah dalam pengembangan individu, menjadikannya relevan dalam kajian psikologi sosial.

    ReplyDelete