Kualitas Pribadi Konselor
A. Pengantar
Kualitas
pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting dalam konseling. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor
penentu bagi pencapaian konseling yang efektif, di samping faktor pengetahuan
tentang dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik atau konseling.
Dalam
kenyataan di lapangan, tidak sedikit para siswa yang tidak mau datang ke ruang
bimbingan dan konseling, bukan karena guru pembimbingnya yang kurang keilmuannya
dalam bidang bimbingan, tetapi karena mereka memiliki kesan bahwa pembimbing
tersebut bersifat judes atau kurang ramah.
Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam rangka mempersiapkan para calon konselor atau guru
pembimbing, pihak lembaga yang bertanggung jawab dalam pendidikan para calon
konselor tersebut dituntut untuk memfasilitasi perkembangan pribadi mereka yang
berkualitas, yang dapat dipertanggung jawabkan secara profesional.
B.
Karakteristik Pribadi Konselor
Menurut
Cavanagh (1982) kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa
karakteristik sebagai berikut.
1. Self-knowledge (Pemahaman diri)
Self-knowledge
ini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara
pasti apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan hal itu, dan masalah apa yang
harus dia selesaikan. Pemahaman diri sangat penting bagi konselor, karena
beberapa alasan berikut.
- Konselor yang memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya cenderung akan memiliki persepsi yang akurat pula tentang orang lain atau klien (konselor akan lebih mampu mengenal diri orang lain secara tepat pula).
- Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil juga memahami orang lain.
- Konselor yang memahami dirinya, maka dia akan mampu mengajar cara memahami diri itu kepada orang lain.
- Pemahaman tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan berkomunikasi secara jujur dengan klien pada saat proses konseling berlangsung.
Konselor
yang memiliki tingkat self-knowledge yang baik akan menunjukkan
sifat-sifat berikut.
- Konselor menyadari dengan baik tentang kebutuhan dirinya. Sebagai konselor dia memiliki kebutuhan diri, seperti : (a) kebutuhan untuk sukses; (b) kebutuhan merasa penting, dihargai, superior, dan kuat.
- Konselor menyadari dengan baik tentang perasaan-perasaannya. Perasaan-perasaan itu seperti : rasa marah, takut, bersalah, dan cinta. Ketidaksadaran konselor akan perasaannya dapat berakibat buruk terhadap proses konseling.
- Konselor menyadari tentang apa yang membuat dirinya cemas dalam konseling, dan apa yang menyebabkan dirinya melakukan pertahanan diri dalam rangka mereduksi kecemasan tersebut.
- Konselor memahami atau mengakui kelebihan (kekuatan) atau kelemahan (kekurangan) dirinya.
2. Competence (Kompeten)
Yang
dimaksud kompeten disini adalah bahwa konselor itu memiliki kualitas fisik,
intelektual, emosional, sosial, dan moral sebagai pribadi yang berguna.
Kompetensi sangatlah penting bagi konselor, sebab klien yang dikonseling akan
belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai
kehidupan yang efektif dan bahagia. Dalam hal ini, konselor berperan untuk
mengajar kompetensi-kompetensi tersebut kepada klien.
Konselor
yang lemah fisiknya, lemah kemampuan intelektualnya, sensitif emosinya, kurang
memiliki kemampuan dalam berhubungan sosial, dan kurang memahami
nilai-nilai moral maka dia tidak akan mampu mengajarkan kompetensi-kompetensi
tersebut kepada klien.
Satu hal
penting yang membedakan hubungan persahabatan dengan hubungan konseling adalah
kompetensi yang dimiliki konselor. Konselor yang efektif adalah yang
memiliki (a) pengetahuan akademik, (b) kualitas pribadi, dan (c) keterampilan
konseling.
Konselor
yang memiliki kompetensi melahirkan rasa percaya pada diri klien untuk meminta
bantuan konseling terhadap konselor tersebut. Di samping itu kompetensi ini
juga sangat penting bagi efisiensi waktu pelaksanaan konseling.
Konselor
yang senantiasa berusaha meningkatkan kualitas kompetensinya, akan menampilkan
sifat-sifat atau kualitas perilaku sebagai berikut.
- Secara terus menerus meningkatkan pengetahuannya tentang tingkah laku dan konseling dengan banyak membaca atau menelaah buku-buku atau jurnal-jurnal yang relevan; menghadiri acara-acara seminar dan diskusi tentang berbagai hal yang terkait dengan profesinya.
- Menemukan pengalaman-pengalaman hidup baru yang membantunya untuk lebih mempertajam kompetensi, dan mengembangkan keterampilan konselingnya. Upaya itu ditempuhnya dengan cara menerima resiko, tanggung jawab, dan tantangan-tantangan yang dapat menimbulkan rasa cemas. Kemudian dia menggunakan rasa cemas itu untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya.
- Mencoba gagasan-gagasan atau pendekatan-pendekatan baru dalam konseling. Mereka senantiasa mencari cara-cara yang paling tepat atau berguna untuk membantu klien.
- Mengevaluasi efektivitas konseling yang dilakukannya, dengan menelaah setiap pertemuan konseling, agar dapat bekerja lebih produktif.
- Melakukan kegiatan tindak lanjut terhadap hasil evaluasi yang telah dilaksanakan untuk mengembangkan atau memperbaiki proses konseling.
3. Good Psychological Health (Kesehatan Psikologis yang Baik)
Konselor
dituntut untuk memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dari kliennya. Hal
ini penting karena mendasari pemahamannya terhadap perilaku dan keterampilan.
Ketika konselor memahami bahwa kesehatan psikologis yang dikembangkan melalui
konseling, maka dia membangun proses konseling tersebut secara lebih positif.
Apabila konselor tidak mendasarkan konseling tersebut kepada pengembangan
kesehatan psikologis, maka dia akan mengalami kebingungan dalam menetapkan arah
konseling yang ditempuhnya.
Konselor
merupakan model dalam berperilaku, apakah dia menyadarinya atau tidak. Setiap
pertemuan konseling merupakan suatu periode pengawasan yang begitu intensif
terhadap tingkah laku yang adaptif. Ketika konselor kurang memiliki kesehatan
psikologis, maka perannya sebagai model berperilaku bagi klien menjadi tidak
efektif, bahkan dapat menimbulkan kecemasan bagi klien. Apabila itu terjadi,
maka konselor bukan berperan sebagai penolong dalam memecahkan masalah, tetapi
justru sebagai pemicu masalah klien.
Kesehatan
psikologis konselor yang baik sangat berguna bagi hubungan konseling. Karena
apabila konselor kurang sehat psikisnya, maka dia akan teracuni atau
terkontaminasi oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif,
nilai-nilai yang keliru, dan kebingungan.
Konselor
yang kesehatan psikologisnya baik memiliki kualitas sebagai berikut.
- Memperoleh pemuasan kebutuhan rasa aman, cinta, kekuatan, dan seks.
- Dapat mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya.
- Menyadari kelemahan atau keterbatasan kemampuan dirinya.
- Tidak hanya berjuang untuk hidup, tetapi juga menciptakan kehidupan yang lebih baik. Konselor dapat menikmati kehidupan secara nyaman. Dia melakukan aktivitas-aktivitas yang positif, seperti : membaca, menulis, bertamasya, bermain (beroolah raga), dan berteman.
4. Trustworthiness (Dapat Dipercaya)
Kualitas Ini
berarti bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi
klien. Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling,
karena beberapa alasan, yaitu sebagai berikut.
- Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam. Dalam hal ini, klien harus merasa bahwa konselor itu dapat memahami dan mau menerima curahan hatinya (curhatnya) dengan tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa percaya ini, maka rasa frustrasi lah yang menjadi hasil konseling.
- Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi untuk membantunya.
- Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
Konselor
yang dipercaya cenderung memiliki kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
- Memiliki pribadi yang konsisten
- Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya
- Tidak pernah membuat orang lain (klien) kecewa atau kesal
- Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak inkar janji, dan mau membantu secara penuh.
5. Honesty (Jujur)
Yang
dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu bersikap transparan
(terbuka), autentik, dan asli (genuine). Sikap jujur ini penting dalam
konseling, karena alasan-alasan berikut.
- Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang lebih dekat satu sama lainnya di dalam proses konseling. Konselor yang menutup atau menyembunyikan bagian-bagian dirinya terhadap klien dapat menghalangi terjadinya relasi yang lebih dekat. Kedekatan hubungan psikologis sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang langsung dan terbuka antara konselor dengan klien. Apabila terjadi ketertutupan dalam konseling dapat menyebabkan merintangi perkembangan klien.
- Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien.
Konselor
yang jujur memiliki karakteristik sebagai berikut.
- Bersikap kongruen, artinya sifat-sifat dirinya yang dipersepsi oleh dirinya sendiri (real self) sama sebangun dengan yang dipersepsi oleh orang lain (public self).
- Memiliki pemahaman yang jelas tentang makna kejujuran.
6. Strength (Kekuatan)
Kekuatan
atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu
klien akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai orang yang (a) tabah
dalam menghadapi masalah, (b) dapat mendorong klien untuk mengatasi
masalahnya, dan (c) dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor
yang memiliki kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku
berikut.
- Dapat membuat batasan waktu yang pantas dalam konseling.
- Bersifat fleksibel
- Memiliki identitas diri yang jelas.
7. Warmth (Bersikap Hangat)
Yang
dimaksud bersikap hangat itu adalah : ramah, penuh perhatian, dan memberikan
kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang
kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan
untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui
konseling, klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing”
dengan konselor. Apabila hal itu diperoleh, maka klien dapat mengalami perasaan
yang nyaman.
8. Actives responsiveness
Keterlibatan
konselor dalam proses konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon
yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap
kebutuhan klien. Disini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan
umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna, mengemukakan
gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan klien tentang cara mengambil
keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses
konseling.
9. Patience (Sabar)
Melalui
kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk
mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan lebih
memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung
menampilkan kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
10. Sensitivity (kepekaan)
Kualitas ini
berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang
tersembunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik pada diri klien maupun
dirinya sendiri.
Klien yang
datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang
sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya
bermasalah. Pada diri mereka hanya nampak gejala-gejalanya (pseudo masalah),
sementara yang sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor
yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa masalah sebenarnya
yang dihadapi klien. Konselor yang sensitif memiliki kualitas perilaku berikut.
- Sensitif terhadap reaksi dirinya sendiri
- Mengetahui kapan, dimana, dan berapa lama mengungkap masalah klien (probing)
- Mengajukan pertanyaan tentang persepsi klien tentang masalah yang dihadapinya
- Sensitif terhadap sifat-sifat mudah tersinggung dirinya.
11. Holistic awareness (Kesadaran Holistik)
Pendekatan
holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan
tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor
sebagai seorang ahli dalam segala hal, disini menunjukkan bahwa konselor perlu
memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami
bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya.
Dimensi-dimensi itu meliputi : fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan
moral-spiritual.
Konselor
yang memiliki kesadaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai
barikut.
- Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks
- Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan tentang perlunya referal (rujukan)
- Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
Shertzer dan
Stone (1971) mengemukakan beberapa pendapat tentang kualitas konselor, yaitu
sebagai berikut.
- Menurut NVGA (National Vocational Guidance Association) konselor yang berkualitas itu ditandai dengan sifat-sifat : (a) mempunyai minat untuk membantu orang lain, (b) sabar, (c) sensitif terhadap reaksi dan sikap orang lain, (d) emosinya stabil, dan (e) dapat dipercaya.
- Hamrin dan Paulson mengemukakan sifat-sifat konselor yang baik, yaitu : (a) memahami diri sendiri dan klien, (b) simpatik, (c) bersahabat, (d) memiliki “sense of humor”, (c) emosinya stabil, (d) toleran, (e) bersih-tertib, (f) sabar, (g) objektif, (h) ikhlas, (I) bijaksana, (j) jujur-terbuka, (k) kalem, (l) lapang hati, (m) menyenangkan, (n) memiliki kecerdasan sosial, (o) bersikap tenang.
- Council of Student Personnel Association in Higher Education merekomendasikan kualitas konselor, yaitu : (a) memiliki perhatian terhadap mahasiswa, (b) percaya terhadap kemampuan mahasiswa, (c) memahami aspirasi mahasiswa, (d) memiliki perhatian terhadap pendidikan, (e) sehat jasmani – rohani, (f) memiliki kemauan untuk membantu orang lain, (g) respek terhadap orang lain, (h) sabar, dan (I) memiliki rasa humor.
- Association for Counselor Education & Supervision mengemukakan 6 sifat dasar konselor, yaitu : (a) percaya terhadap individu, (b) komitmen terhadap nilai manusiawi individu, (c) memahami perkembangan lingkungan, (d) bersikap terbuka, (e) memahami diri, (f) komitmen terhadap profesi.
Thohari
Musnamar dkk. (1992) mengemukakan sifat kepriibadain yang baik
(akhlaqul-karimah) konselor, yaitu : (a) siddiq, mencintai dan
membenarkan kebenaran, (b) amanah,bisa dipercaya, (c) tabligh,
mau menyampaikan apa yang layak disampaikan, (d) fatonah, cerdas
atau berpengetahuan, (e) mukhlis, ikhlas dalam menjalankan tugas,
(f) sabar, artinya ulet, tabah, tidak mudah putus asa, tudak mudah
marah, dan mau mendengarkan keluh kesah klien dengan penuh perhatian, (g) tawadlu,
rendah hati atau tidak sombong, (h) saleh, artinya mencintai,
melakukan, membina, dan menyokong kebaikan, (I) adil, mampu
mendudukkan persoalan secara proporsional, dan (j) mampu mengendalikan
diri, menjaga kehormatan diri dan klien.
Daftar
Pustaka
Cavanagh
Michael E. (1982). The Counseling Experience. California :
Brooks/Cole
Publishing Co.
Thohari
Musnamar dan Tim (Ed.). (1992). Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan
Konseling Islami. Yogyakarta : UII Press.
Shertzer
& Stone. (1971). Fundamentals of Guidance. New York : Houghton
Miflin Company.
No comments:
Post a Comment