A.
Makna Karir
Banyak
istilah yang memiliki kesamaan makna dengan karir, misalnya task, position, job, occupation, vocation, dan avocation. Sejatinya, karir memiliki
spektrum makna yang lebih luas dan dalam dibandingkan istilah sejenis. Karir
mengandung makna urutan okupasi, job dan posisi-posisi yang diduduki sepanjang
pengalaman kerja seseorang (Tolbert dalam Mamat Supriatna, 2009:8).
Kata
karir identik dengan bekerja atau pekerjaan. Winkel (Uman Suherman, 2011:30) mengemukakan
bahwa:
Kata
employment dan job lebih mengarah kepada seseorang yang sibuk mengerjakan sesuatu
dengan mendapat imbalan ekonomis atau usaha dan waktu yang dicurhkan, tanpa
merasa terlibat di dalam pekerjaannya atau memandangnya sebagai sumber kepuasan
pribadi yang bersifat non-ekonomis. Kata occupation
lebih kepada seseorang yang merasa terlibat dalam memperoleh kepuasan di dalam
pekerjaannya karena ada persiapan untuk memegang, namun keterlibatannya
dibatasi pada jam-jam bekerja. Selanjutnya job
juga merujuk pada pekerjaan yang tidak berkelanjutan atau bersifat temporer.
Job hanya menuntut kemampuan minim, pendidikan seadanya, dan dedikasi yang
sedikit. Lain dengan karir yang memerlukan sejumlah pelatihan, pendidikan dan
komitmen pada kehidupan kerja yang dipilih oleh individu. Karir juga merupakan
kesuksesan pada apa yang dipilih oleh individu untuk dilakukan dengan disertai
keuntungan financial dan kebermaknaan personal.
3
|
Berkaitan
dengan pernyataan-pernyataan tersebut tersebut, Crites (Uman Suherman, 2011:31)
mengemukakan bahwa:
First,
the term “career” is contemporary. It has increasingly supplanted “covational”
t designate and encompass the developmental nature of decision making as a
lifelong process.
Second, “career”
is generally more inclusive than “vocational has not only special connotations
(such as vocational-technical education), but also historical meanings thal are
sometimes confused with choice as a “calling”.
Ahli
yang pertama kali memperkenalkan pentingnya karir bagi seorang manusia adalah
Parson (dalam Winkel dan Sri Hastuti, 2006). Ia mengatakan bahwa ada tiga proses
yang harus dilalui seseorang untuk memilih karir yang sesuai dengan dirinya.
Pertama, pemahaman diri yang jelas, mengenai kemampuan yang dimiliki, bakat,
minat, berbagai kelebihan dan kelemahan, serta ciri lainnya. Kedua, pengetahuan
tentang keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat sukses dalam
berbagai bidang pekerjaan, untung dan rugi, kompenasi yang diperoleh serta
peluang yang ada dalam pekerjaan tersebut. Proses terakhir adalah rasionalisasi
mengenai hubungan antara kedua kelompok fakta tersebut. Pada proses terakhir
ini, individu akan menyelaraskan pengetahuan tentang dirinya dengan pengetahuan
tentang bidang-bidang pekerjaan untuk kemudian menentukan pilihan dan aspirasi
karirnya.
Menurut
Murray (dalam Mamat Supriatna, 2009:8) “karir dapat dikatakan sebagai suatu
rentangan aktivitas pekerjaan yang saling berhubungan, dalam hal ini seseorang
memajukan kehidupannya dengan melibatkan berbagai perilaku, kemampuan, sikap,
kebutuhan, aspirasi, dan cita-cita sebagai satu rentang hidupnya sendiri”.
Definisi ini memandang karir sebagai rentangan aktivitas pekerjaan yang
diakibatkan oleh adanya kekuatan inner
person pada diri manusia. Perilaku yang tampak karena adanya kekuatan
motivatif, kemampuan, sikap, kebutuhan, aspirasi dan cita-cita sebagai modal
dasar bagi karir individu. Itulah yang oleh Healy (dalam Mamat Supriatna,
2009:9) disebut sebagai kekuatan karir (power
of career). Kekuatan karir ini akan tampak dalam penguasaan sejumlah
kompetensi (fisik, sosial, intelektual, spiritual) yang mendukung kesuksesan
individu dalam karirnya.
Sukses
karir dapat dicapai melalui pendidikan, hobi, profesi, sosial-pribadi, dan
religi. Mamat Supriatna (2009:9) memberikan cakupan karir pada seluruh aspek
kehidupan individu. Aspek tersebut meliputi:
a. Peran-peran hidup (life-roles), seperti sebagai pekerja, anggota keluarga dan warga
masyrakat.
b. Adegan-adegan kehidupan (life-setting), seperti dalam keluarga,
lembaga masyarakat, sekolah, atau pekerjaan.
c. Peristiwa kehidupan (life-events), seperti dalam memasuki pekerjaan,
perkawinan, pindah tugas, kehilangan pekerjaan, atau mengundurkan diri dari
suatu pekerjaan.
Super (dalam Mamat Supriatna, 2009:18)
“memberikan empat makna terhadap karir”. Makna tersebut adalah sebgai berikut:
a. Jalannya peristiwa-peristiwa kehidupan
b. Sekuensi okupsi-okupsi dan
peranan-peranan kehidupan lainnya yang keseluruhannya menyatakan tanggung jawab
seseorang kepada pekerjaan dalam keseluruhan pola perkembangan dirinya
c. Serangkaian posisi yang diberi upah
maupun tidak, yang diduduki seseorang dari sejak remaja samapi pension
d. Mencakup perananan-peranan yang
berkaitan dengan pekerjaan, seperti pelajar, karyawan, pensiunan, serta
bersama-sama dengan peranan-peranan pelengkap seperti kesenangan, yang
berkaitan dengan keluarga, dan kewarganegaraan.
Berdasarkan berbagai
pendapat diatas, Mamat Supriatna (2009:10) memberikan kesimpulan yang
signifikan terhadap pengertian karir, yaitu “perwujudan diri yang bermakna
melalui serangkaian aktivitas dan mencakup seluruh aspek kehidupan yang
berwujud karena adanya kekuatan inner
person. Perwujudan diri akan bermakna manakala ada kepuasan/kebahagiaan
diri dan lingkungan”.
B.
Kematangan
Karir
Setiap
manusia yang hidup pasti memiliki rentang hidup, baik dalam aspek apapun termasuk
tentang kematangan karir. Dalam teori rentang hidup dari Super terdapat suatu
konsep yang disebut dengan kematangan karir (career maturity). Kematangan karir (career maturity) merupakan tema penting dan sentral dalam teori
perkembangan karir masa hidup (life span
career development) yang dicetuskan oleh Super. Super memperkenalkan dan
mempopulerkan konsep tentang kematangan karir setelah penelitiannya tentang
pola karir di tahun 1950-an.
Kematangan
karir (career maturity) didefinisikan
sebagai kesesuaian antara perilaku karir individu dengan perilaku karir yang
diharapkan pada usia tertentu disetiap tahap. Crites dalam Herr dan Cramer
(1979: 174) berpendapat bahwa “… the maturity
of an individual’s vocational behavior as indicated by the similarity between
his behavioral and that of the oldest individual’s in his vocational stages”.
Definisi ini lebih menekankan pada kematangan karir sebagai tahap hidup (life-stages). Sementara itu, menurut
Super dalam Sharf (1992: 155) menyatakan bahwa kematangan karir didefinisikan
sebagai “… the readiness to make
appropriate career decisions….”readiness
to make good choice atau kesiapan individu untuk membuat pilihan karir yang
tepat. Definisi kedua ini lebih menekankan pada kesiapan untuk membuat pilihan
dan keputusan karir secara tepat. Diharapkan tidak salah pilih dan terjebak
dalam pilihan karir yang salah dimasa depan.
Levinson,
Ohler, Caswell dan Kiewra (1998) mendefinisikan kematangan karir sebagai
kemampuan individu dalam membuat suatu pilihan karir yang stabil dan realistic
dan stabil dengan menyadari akan apa yang dibutuhkan dalam membuat suatu
perkiraan keputusan karir. Ditambahkan oleh Crites (1961, dalam Arredondo,
1976) bahwa kematangan karir adalah suatu derajat dan tingkat perkembangan
karir. Derajat perkembangan karir mengacu pada kematangan perilaku kerja
individu sebagai petunjuk kesamaan antar perilaku dan tahap perkembangannya.
Sedangkan tingkat perkembangan kerja mengacu pada kematangan perilaku individu
yang dibandingkan dengan kelompok usianya. Kematangan karir menurut Savickas
(1999, dalam Creed dan Patton, 2002) adalah kesiapan individu dalam membuat
informasi, keputusan karir sesuai dengan usia dan menyelesaikan tugas-tugas
perkembangan terkait dengan karir.
Konteks
dasar dari teori kematangan karir ini adalah perkembangan karir yang
dikemukakan oleh Super. Hal ini dijadikan rujukan inti, mengingat teori
perkembangan karir Super dapat memberikan implikasi terhadap banyak ahli untuk
mendalami lebih jauh serta mengaplikasikannya pada konsep kematangan karir.
Super dalam Sharf, (1992: 121-122) menjelaskan teorinya kedalam beberapa bagian
yang merupakan hasil kerja beberapa ahli antara lain Thorndike, Hull, Bandura,
Freud, Jung, Adler, Rnk, Murray, Maslow, Allport, Rogers dan lain-lain.
Berdasarkan analisa yang dilakukannya, Super membangun asumsi-asumsi bagi teori
perkembangan karir yang dikembangkannya.
Terdapat
asumsi yang paling mendasari teori perkembangan karir Super yaitu dimensi
psikologis dan dimensi geografis. Kedua dimensi tersebut menurut Super dapat
memberikan dampak terhadap aspek-aspek yang ada dalam perkembangan karir
individu. Dimensi psikologis terdiri dari kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai,
minat, intelegensi, kemampuan khusus (bakat). Sedangkan dimensi lingkungan
sosial-ekonomi seperti halnya : keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya,
masyarakat luas serta keadaan ekonomi serta tingkatan kondisi masyarakat dalam
tatanan karir dilingkungan yang lebih luas.
Karir
dan pekerjaan biasanya oleh kebanyakan orang disamakan pengertiannya, yaitu
sama-sama bekarja untuk memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Perbadaan antara pekerjaan dan karir dilihat apabila pekerjaan
umumnya hanya menuntut sedikit keahlian, sedikit pendidikan, dan sedikit
dedikasi. Sedangkan pekerjaan sebagai karir berupa adanya pendidikan dan
latihan, komitmen, dan merupakan jalan kehidupan kerja yang dipilih individu.
Selain itu karir mengimplikasikan keberhasilan pada apa yang individu pilih
untuk hidupnya demi memenuhi kebutuhan finansial. Seperti yang dikemukakan oleh
Zunker dalam Winkel dan Sri Hastuti, (2006: 571) bahwa “career refer to the activities associated with and individual’s
lifetime of work”. Selanjutnya, Crites (1981: 11) menyatakan bahwa “..the term “career” is contemporary – the
developmental nature of decision making as a long life process…”.
Senada
dengan dua pendapat tersebut, Super dalam Herr dan Crammer, (1984: 14)
mengungkapkan bahwa:
Career defined as the
course of events which constitutes a life; the sequence of occupation and other
life roles which combine the express one’s commitment to work in his or her
total pattern of self-development; the series of remunerated and nonremunerated
positions occupied by a person form adolescence is only one; includes
work-realted roles such as those of student, employee, and pensioner together
with complementary a vocational, familial, and civic roles. Careers exist only
as people pursue them; they are person-centered. It as last notion of careers,
“they exist only as people pursue them, “which summarizes much of the rationale
for career guidance.
Ahli-ahli
perkembangan karir mengungkapkan bahwa karir menggambarkan seseorang yang
memandang pekerjaannya sebagai panggilan hidup yang meresap keseluruhan alam
pikirannya dan perasaan sekaligus mewarnai seluruh gaya hidup (life styles) kehidupannya, karir lebih
dari sekedar pekarjaan, karir berhubungan dengan bagaimana individu melihat
dirinya, karir merupakan perkembangan individu (self-development) dalam rentang kehidupan yang meliputi peran-peran
hidup, setting-setting dan peristiwa-peristiwa kehidupan seseorang (Herr dan
Crammer, 1984: 14). Secara umum perspektif karir tersebut dapat dikategorikan
kedalam dua bagian, yaitu karir yang identik dengan pekerjaan dan karir dalam
konteks life span.
Pertama,
karir yang identik dengan pekerjaan mengisyaratkan bahwa sesuatu dikatakan
karir jika memenuhi kriteria-kriteria berikut: (a) keterlibatan dalam individu
dalam menjalankan pekerjaannya; (b) pandangan individu yang melihat pekerjaan
sebagai sumber kepuasan yang bersifat non-ekonomis; (c) persiapan pendidikan
atau pelatihan dalam memperoleh dan menjalankan pekerjaan; (d) komitmen untuk
menjalankan pekerjaan; (e) dedikasi yang tinggi terhadap apa yang dikerjakan;
(f) keuntungan finansial; dan (g) kesejahteraan personal yang membawa
kebermaknaan hidup.
Kedua, dalam konteks life span, karir dimaknai sebagai
perjalanan hidup individu yang bermakna. Kebermaknaan yang dimaksudkan
diperoleh individu melalui integrasi peran, setting dan peristiwa yang
melibatkan pengambilan keputusan-keputusan, komitmen, gaya hidup, dedikasi, dan
persiapan-persiapan untuk menjalani dan mengakhiri kehidupannya. Karir dalam
pengartian ini lebih dari sekedar mengerjakan sesuatu atau bekerja disuatu
tempat, tetapi karir merupakan manifestasi dari hidup dan kehidupan individu
itu sendiri.
C.
Kepuasan
Karir
Suatu pepatah lama
mengatakan, "Seorang pekerja yang bahagia adalah pekerja yang
produktif", hal ini
diresapi para pemikir Amerika tentang bagaimana membangun dan mempertahankan
produktivitas yang tinggi dalam organisasi. Pernyataan ini secara meluas
dipercaya di kalangan pengembang karir bahwa orang-orang yang mengalami
kepuasan dalam kehidupan kerja mereka juga mencapai lebih banyak, baik secara
psikologis dan kesehatan fisik, dan bahkan mengalami kepuasan yang lebih besar
dalam peran mereka pada sisi lain dari kehidupan. Jadi, tidak mengherankan
bahwa kepuasan kerja merupakan topik yang paling banyak diteliti dalam
penelitian perilaku organisasi (Spector, 1997).
Karena peningkatan dalam kepuasan kerja merupakan salah
satu hasil yang potensial dari konseling karir, maka konseling karir secara
profesional memerlukan pengetahuan tentang teori dan riset empiris yang dapat
membentuk pemahaman tentang gagasan kepuasan kerja.
1.
Pengertian
dan penelitian tentang kepuasan kerja
Kepuasan kerja umumnya didefinisikan sebagai variabel
afektif yang dihasilkan dari penilaian terhadap pengalaman kerja individu. Menurut Marihot Tua Efendi
Hariadja (2002:290) mengemukakan bahwa: "Kepuasan Kerja merupakan
sejauhmana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor
atau dimensi dari tugas-tugas dalam pekerjaannya". Kemudian Robbins dalam
Wibowo (2007:299) mengemukakan bahwa "Kepuasan kerja adalah sikap umum
terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukan perbedaan antara jumlah
penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya
mereka terima". Menurut Keith Davis dalam Anwar Prabu (2001:117)
mengemukakan bahwa "Kepuasan Kerja adalah suatu perasaan yang menyokong
atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun
dengan kondisi dirinya".
Locke (1976) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
"sesuatu yang menyenangkan atau keadaan emosi positif yang dihasilkan dari
penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman kerja "(hal. 1300). Cranny, Smith, dan Stone (1992) memandang hal ini
sebagai "suatu perasaan (maksudnya secara emosional) reaksi terhadap
pekerjaan, sebagai suatu hasil yang dibandingkan dari kewajiban sebagai hasil
akhir yang aktual dengan sesuatu yang dikehendaki orang-orang. Teori dan Penelitian
tentang Kepuasan Kerja
(yang diharapkan, yang sepatutnya didapatkan, dan seterusnya). Dalam
istilah yang sederhana, kepuasan kerja adalah "sejauh mana orang menyukai
pekerjaan mereka "(Spector, 2000, hal 197). Brief (1998) berpendapat bahwa
definisi yang secara umum dapat diterima, menekankan pengaruh kepuasan kerja
tetapi gagal mempertimbangkan bahwa sikap juga memiliki komponen kognitif.
Dengan kata lain, sikap kerja terdiri dari perasaan dan pikiran tentang
pekerjaan.
Bahkan meskipun sebagian besar definisi tentang
kepuasan kerja lebih menekankan aspek afektif, namun sebagian besar pengukuran
tentang kepuasan kerja cenderung lebih menekankan komponen kognitif, daripada
afektif (Fisher, 2000; Organ & Near, 1985). Biasanya, langkah-langkah
pengukuran dilakukan dengan meminta orang untuk menilai seberapa puas mereka
dengan membandingkan pengalaman kerja mereka dalam berbagai standar, seperti
apa yang sebelumnya mereka harapkan atau referensi dari kelompok pekerja yang
lain. Survei menunjukkan bahwa orang pada umumnya menyukai pekerjaan mereka. A
2003 Gallup Poll menemukan bahwa mayoritas orang Amerika pada umumnya puas
dengan pekerjaan mereka dan dengan sebagian besar aspek dari pekerjaan mereka.
Temuan ini konsisten dengan temuan-temuan Gallup Poll sebelumnya seperti jajak
pendapat pada tahun 1999 melaporkan bahwa 90% dari pekerja di Amerika umumnya
puas dengan pekerjaannya dan data tahun 2001 melaporkan bahwa sepertiga dari
pekerja di Amerika "mencintai" pekerjaan mereka.
Meskipun kepuasan kerja cenderung tinggi secara
menyeluruh, beberapa orang menunjukkan kecenderungan lebih puas daripada yang
lain. Sebagai contoh, kepuasan kerja cenderung meningkat sejalan dengan usia
(Brush, Moch, & Pooyan, 1987; Siu, Spector, Cooper, & Donald, 2001)
atau distribusi dari pekerja yang baru masuk ke dunia kerja dan pekerja yang
lebih lama, lebih memiliki kepuasan pekerjaan tertinggi (Hochwarter, Ferris,
Perrewe, Witt, & Kiewitz, 2001). Siu et al. menyatakan bahwa pekerja yang
lebih tua lebih puas karena mereka cenderung sudah memiliki kemampuan dan
kesejahteraan lebih baik daripada pekerja muda. Belum ditemukan secara jelas
dalam penelitian, apakah ada perbedaan ras dan seks dalam kepuasan kerja. Di
satu sisi, penelitian telah menemukan bahwa pria dan wanita, sama-sama merasa
puas dengan pekerjaan mereka (Brush et al., 1987; Witt & Nye, 1992). Brush
et al. tidak menemukan bukti adanya perbedaan rasial dalam kepuasan kerja.
Di sisi lain, Greenhaus, Parasuraman, dan Wormley
(1990); Tuch dan Martin (1991) menemukan bahwa orang kulit hitam secara umum
kurang puas dibandingkan keturunan kulit putih. Kedua studi tersebut
menunjukkan bahwa kepuasan kerja yang lebih rendah, dikarenakan pada umumnya
orang kulit Hitam menerima pekerjaan yang kurang memuaskan (yaitu, bayaran yang
lebih rendah, pekerjaan yang kurang stabil) dibandingkan keturunan kulit putih.
Menurut
Marihot Tua Efendi (2002:291) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
karyawan yaitu :
a.
Gaji
yaitu jumlah bayaran yang diterima seseorang sebagai akibat dari pelaksanaan
kerja.
b.
Pekerjaan
itu sendiri yaitu isi pekerjaan yang dilakukan seseorang.
c.
Rekan
Sekerja yaitu teman-teman yang senantiasa berinteraksi dalam pelaksanaan
pekerjaaan.
d.
Promosi
yaitu kemungkinan seseorang dapat berkembang melalui kenaikan jabatan.
e.
Atasan
yaitu seseorang yang senantiasa memberi perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja.
2.
Korelasi
dari kepuasan kerja
Tidak hanya supaya memiliki kepuasan kerja sebagai
sesuatu hal yang penting dari dalam diri sampai saat akhir, tetapi orang-orang yang puas dengan pekerjaan mereka
cenderung mengalami perilaku positif lainnya, secara afektif, dan secara fisik
juga sehat. Bagian ini melaporkan
penelitian yang menghubungkan Teori dan Penelitian tentang Kepuasan Kerja : jenis
kepuasan kerja yang dinyatakan pada penampilan kerja, perilaku kerja tidak
produktif, withdrawal/penarikan perilaku, kepuasan hidup, dan kesehatan.
a. Kinerja (Penampilan kerja)
Mereka yang puas di tempat kerja pasti
akan lebih produktif. Ada hubungan positif antara kinerja dengan kepuasan
kerja, namun kurang jelas apakah besarnya hubungannya kecil atau sedang. Di
lain pihak, studi individu dengan variabilitas besar dalam besarnya koefisien
korelasi telah ditemukan. Dalam hal ini, peneliti biasanya mencari variabel
penting yang mempengaruhi besarnya korelasi atau untuk masalah metodologis
dengan studi tertentu.
Beberapa ahli berpendapat bahwa hubungan
mungkin terbalik, yaitu kinerja yang baik menyebabkan kepuasan yang tinggi.
Bila kinerja tinggi dan mengarah kepada penghargaan yang dihargai, seperti
perasaan keberhasilan, promosi dan prestasi, cenderung menimbulkan sikap kerja
yang positif. Bahkan korelasi kuat telah ditemukan antara kepuasan dan kinerja
karyawan. Kepuasan kerja adalah hasil dari kinerja yang baik.
Pendekatan lain untuk memahami hubungan
kepuasan kerja-kinerja adalah untuk memeriksa aspek tertentu dari kinerja
pekerjaan daripada menganggap bahwa sikap harus berhubuangan dengan kinerja
secara keseluruhan. Kinerja pekerjaan multidimensi dan dua dimensi kinerja
utama adalah tugas dan kinerja konteksual. Tugas kinerja utama adalah tugas
kinerja kontekstual. Tugas kinerja termasuk perilaku yang membentuk intik
teknis dari pekerjaan (seperti mengajar dan melakukan penelitian bagi para
dosen dir universitas). Sedangkan perilaku yang mendukung kinerja kontekstual
meliputi inti teknis melalui perbaikan lingkungan organisasi, sosial dan
psikologis di mana kinerje tugas terjadi (misalnya membantu untuk melatih rekan
kerja baru). Kepuasan kerja telah terbukti berhubungan positif terhadap kinerja
kontekstual atau perilaku extrarole. Organ (1998) berargumen bahwa orang yang
menawarkan extrarole selama mereka mempertahankan hubungan jangka panjang
kepercayaan dengan organisasi, namun ketika kepercayaan dilanggar dan pekerja
menjadi tidak puas, maka mereka akan menghentikan extrarole tersebut.
Brief dan rekan (1992)
mengargumentasikan “perasaan yang baik-berbuat baik”, yang merupakan penjelasan
untuk hubungan antara kepuasan kerja dan perilaku peran. Mereka berpendapat
bahwa tambahan extrarole ditentukan oleh perasaan yang positif di tempat kerja.
Dalam sebuah percobaan lapangan, Brief menunjukkan bahwa perasaan positif dapat
mempengaruhi kepuasan kerja. Temuan mereka menunjukkan bahwa “...perasaan
positif yang lebih banyak menginduksi kejadi di tempat kerja dapat membuat
perubahan yang bertahan dalam kepuasan kerja, dan dengan demikian pada umumnya
lebih tinggi tingkat perilaku prososial dalam organisasi.
b. Perilaku yang tidak produktif
Ketidakpuasan
kerja dikaitkan dengan perilaku kerja yang kontraproduktif. Perilaku
kontraproduktif adalah perilaku yang merusak organisasi, seperti sabotase,
pencurian dan tindakan agresi terhadap rekan kerja. Ketika orang-orang tidak
puas dengan pekerjaan mereka, mereka menjadi frustasi dan menyampaikan rasa
frustasi mereka dengan bertindak keluar dari tempat kerja dan sebelumnya
terindikasi melalui gejala fisik.
c. Perilaku menarik diri
Mereka
yang tidak puas dengan pekerjaan mereka, cenderung lebih sering kehilangan
pekerjaan daripada mereka yang puas dengan pekerjaannya. Namun meta-analisis
menemukan bahwa korelasi berarti antara kepuasan kerja dan ketdakhadiran berada
pada taraf yang lemah. Sehingga dapat dijelaskan bahwa hubungan antara
ketidakhadiran dan kepuasan kerja bisa tidak linier. Dengan demikian, korelasi
yang rendah akan dilaporkan, karena antara data dan cara data dianalisis tidak
sesuai. Kemungkinan lain adalah bahwa distribusi absen mungkin sangat miring.
Dengan kata lain, kebanyakan orang jarang absen. Ini merupakan pelanggaran
terhadap asumsi normalitas yang akan melemahkan koefisien korelasi.
Hacket
dan Guion (1985) berpendapat bahwa nilai-nilai pribadi yang mungkin untuk
menjelaskan variasi dalam perilaku tidak lebih daripada sikap kerja, karena
nilai-nilai yang lebih sentral dengan kepribadian kita sebagai pilihan langsung
perilaku kita. Dengan demikian, orang dengan tingkat kepuasan kerja yang sama
dapat berperilaku berbeda ketika menghadapi situasi di mana nilai-nilai dalam
bekerja dan konflik yang tidak bekerja.
d. Kepuasan hidup
Di
atas telah membahas hubungan antara sikap kerja dan perilaku kerja. Pada bagian ini
berfokus pada hubungan antara sikap kerja dan sikap-sikap lainnya. Secara
khusus, berfokus pada bagaimana kepuasan kerja berhubungan dengan kepuasan
hidup, pada umumnya. Banyak studi telah meneliti hubungan ini (misalnya,
Heller, Hakim, & Watson, 2002; Iverson & Maguire, 2000; Hakim &
Watanabe, 1993; Rain, Lane, & Steiner, 1991).
Tiga hipotesis utama telah ditawarkan: spillover
(penyebaran), upah/kompensasi, dan segmentasi hipotesis/pembagian hipotesis
(Rain et al., 1991).Tiga hipotesis utama: kelebihan,
kompensasi, dan hipotesis segementasi. (1) Hipotesis kelebihan menunjukkan
bahwa perasaan di satu bidang kehidupan mempengaruhi perasaan di daerah lain
pada kehidupan seseorang. Dengan kata lain, pekerjaan dan kepuasan hidup harus
berkorelasi positif. (2) Hipotesis kompensasi mengusulkan bahwa orang cenderung
untuk mengkompensasi ketidakpuasan dalam satu bidang kehidupan mereka dengan
kepuasan di tempat lain (misalnya, orang-orang dalam situasi pekerjaan tidak
memuaskan akan mencari kepuasan dan kesenangan dalam kehidupan keluarga atau
pribadi mereka). Artinya adalah, bahwa kehidupan dan kepuasan kerja diharapkan
akan berkorelasi negatif. Sedangkan (3) hipotesis segmentasi berpendapat bahwa
orang-orang akan memilah-milah kehidupan mereka dan tidak memungkinkan untuk
bekerja, dan kemudian mencari kepuasan di luar bidang pekerjaan untuk
mempengaruhi orang lain. Dengan demikian pekerjaan dan kepuasan hidup mungkin
tidak terkait.
Penyebaran hipotesis menunjukkan bahwa perasaan
dalam satu bidang kehidupan dapat mempengaruhi perasaan di bidang lain dalam
kehidupan seseorang. Dengan kata lain, pekerjaan dan kepuasan hidup harus
berkorelasi positif. Hipotesis kompensasi mengusulkan bahwa orang cenderung
untuk mengkompensasi ketidakpuasan dalam satu bidang kehidupan mereka dengan
kepuasan yang lain (misalnya, orang-orang dalam situasi pekerjaan tidak
memuaskan akan mencari lebih banyak kepuasan dan kesenangan hidup di rumah
mereka). Begitulah, hidup dan kepuasan kerja diharapkan berkorelasi secara
negatif. Segmentasi hipotesis yang berpendapat bahwa orang menggolongkan hidup mereka dan tidak membiarkan kepuasan
kerja dan nonpekerjaan dapat mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian,
pekerjaan dan kepuasan hidup mungkin tidak berhubungan.
Kebanyakan penelitian telah menemukan hubungan
positif antara pekerjaan dan kepuasan hidup, secara empiris mendukung hipotesis
spillover (Rain et al., 1991). Dalam studi longitudinal, Judge dan Watanabe
(1993) menyelidiki sebab langsung dari hubungan ini dan menemukan bahwa
pekerjaan dan kepuasan hidup berkorelasi secara timbal balik. Hubungan antara
pekerjaan dan kepuasan hidup kemungkinan disebabkan, sebagian, secara umum
kecenderungan watak untuk mengalami suasana hati positif (biasanya disebut
berpengaruh positif) atau negatif terhadap suasana hati (berdampak negatif).
Watson dan Slack (1993) berpendapat bahwa
kecenderungan afektif mempengaruhi kepuasan kerja, yang dapat menyebabkan
kepuasan hidup. Lalu, kepuasan hidup yang lebih baik mengarah pada penyesuaian
yang lebih baik (misalnya, mempengaruhi lebih tinggi secara positif dan
lebih rendah secara negatif). Sebuah
studi longitudinal (Heller et al., 2002) menemukan bahwa kepribadian tidak
menjelaskan beberapa variance (perbedaan pendapat/ pertentangan) dalam
hubungan.
e. Kesehatan
Sebagian
besar anteseden dan konsekuensi dari stres kerja meliputi ketidakpuasan kerja,
sebagai contohnya; konsekuensi jangka pendek akibat mengalami stres di tempat
kerja. Konsekuensi negatif jangka pendek, seperti ketidakpuasan kerja sehingga
menyebabkan masalah fisik dan psikologis jangka panjang.
Ada
juga istilah burnout (penghilangan). Burnout didefinisikan sebagai “...sindrom
psikologis dalam menanggapi stressor interpersonal kronis pada pekerjaan. Tiga
dimensi utama dalam burnout adalah kelelahan luar biasa, perasaan sinis dan
datasemen dari pekerjaan, dan rasa ketidakefektifan dan kurangnya prestasi”.
Burnout berkorelasi negatif dengan kepuasan kerja, komitmen kerja dan komitmen
organisasi. Mereka yang mengalami kelelahan dan juga mengalami “ketidakcocokan
yang kronis” dengan lingkungan kerja mereka dalam hal beban kerja (misalnya,
bila permintaan melebihi kapasitas individu), kontrol (misalnya, ketika
tanggung jawab melampaui wewenang individu), penghargaan (misalnya, dukungan
sosial), keadilan (misalnya, kurangnya keadilan dalam menyuarakan suara hati),
atau nilai-nilai (misalnya, nilai-nilai organisasi yang bertentangan dengan
satu sama lain atau dengan nilai-nilai pribadi individu). Burnout diasumsikan
mengakibatkan hasil negatif seperti ketidakpuasan kerja dan kinerja pekerjaan
yang buruk.
Kesehatan
psikologi dan kesehatan fisik sering dihubungkan dengan kepuasan kerja.
Kirkcaldy (2002) menemukan bahwa kepuasan kerja yang lebih rendah dan kesehatan
yang buruk dikaitkan dengan mereka yang memiliki lokus kontrol eksternal
(yaitu, keyakinan bahwa peristiwa kehidupan adalah karena kekuatan di luar
kendali individu) dan kepribadi tipe A (yakni, sangat kompetitif, tidak sabar
dan mudah gelisah) dibandingkan dengan mereka yang memiliki lokus kontrol internal
(yaitu, keyakinan bahwa peristiwa kehidupan dalam kendali individu) dan
kepribadian tipe B (yakni, yang memiliki kepribadian yang lebih santai,
daripada kepribadian tipe A).
Komitmen organisasi
dapat menjadi penyangga seseorang dari pengaruh stres kerja terhadap kepuasan
kerja. Seseorang yang memiliki komitmen tinggi pada organisasi, peduli tentang
nasib organisasi mereka, bersedia untuk pergi dan keluar demi organisasi dan
merasakan rasa ketertariakn pada organisasi. Komitmen mungkin menjadi penyangga
terhadap stres, karena membantu orang melampirkan arti bagi pekerjaan mereka
dan menghibungkan orang lebih dekat dengan jaringan sosial mereka di tempat
kerja.daftar Referensi
DAFTAR
PUSTAKA
Crites, John O. (1981). Career Counseling; Models, Methods and
Materials. New
York: McGraw-Hill Book Com
Eka
Rachmawati, Yunia. 2012. Hubungan antara
Self Efficacy dengan Kematangan Karir pada Mahasiswa Tingkat Awal dan Tingkat
Akhir di Universitas Surabaya. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya. Vol. 1 No. 1 (2012).
Herr, E.L., Crammer,
S.H. 1979. Career Guidance and Counseling
Throught the Life Span. Toronto: Little, Brown & Company
Kerrie
G. Wilkins
and Terence
J. G. Tracey.
2014. Person Environment Fit and Vocational Outcome. Journal Psycho-social
Career Meta-capacities.
Pp. 123-138
Lia Gao. 2014. Transactional Leadership and Employee Creativity: The mediation role of Career Satisfaction. Journal Civil Aviation Med. Center, CAAC, Beijing, China.
Mamat Supriatna. 2009. Layanan Bimbingan Karir di Sekolah Menengah. Bandung: UPI.
Muro, J. J, Kottman, T.
1997. Guidance and Counseling In The
Elementary and MiddleSchools: A Practical Approach. Lowa: Wm. C. Brown Communication,
inc.
Sharf, R. S. 1992. Applying Career Development Theory to
Counseling. California: Brook/Cole Publisher Company
Steven D. Brown and Robert W. Lent. 2005. Career Development and Counseling: Putting
Theory and Research to Work. John Wiley and Sons, Inc.
Suherman,
Uman. 2011. Konseling Karir Sepanjang
Rentang Kehidupan. Bandung: Alumni
Winkel & Sri
Hastuti. 2006. Bimbingan dan Konseling di
Institusi Pendidikan. Yogyakarta: media abadi
No comments:
Post a Comment